Ironi Minim Empati Pemimpin Negeri
Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Gempa Cianjur masih membawa duka yang mendalam bagi masyarakat, terutama para korbannya. Banyak dari mereka yang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal juga barang berharga. Tidak hanya kesedihan, tetapi trauma juga melanda jiwa mereka.
Di atas duka itu, maka empati dan simpati dari kita dan penguasa sangat dibutuhkan. Sebab, mereka butuh pemulihan segera. Mulai sandang, pangan, dan papan, serta pengobatan luka dan trauma.
Namun ironisnya, dikala Cianjur masih bergelimang duka, sang penguasa negeri ini justru tidak enggan berpesta. Seolah nestapa rakyat telah usai. Seakan keadaan rakyat baik-baik saja.
Dilansir suara.com (26/11/2022), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menghadiri acara Nusantara Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Sabtu (26/11/2022) yang digelar oleh Relawan Jokowi. Konon, acara Nusantara Bersatu tersebut merupakan pertemuan para relawan dengan Jokowi, yang dimaksudkan hanya untuk silaturahmi dan syukuran atas kinerja pemerintahan.
Sungguh bukan saat yang tepat sebenarnya untuk mengadakan syukuran di atas penderitaan rakyat. Cianjur yang masih berduka, serta rakyat pada umumnya yang masih banyak terlilit sulitnya ekonomi. Mereka butuh solusi segera, bukan pencitraan dengan kunjungan tetapi minim aksi nyata.
Apalagi, jumlah korban Cianjur juga masih bertambah. Update per 26 November 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam konferensi pers di pusat posko bencana, Kantor Bupati Cianjur, Deputi III Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen Fajar Setyawan menyampaikan bahwa korban jiwa yang meninggal dunia berjumlah 318 orang. Sedangkan korban yang hilang dan masih dalam status pencarian berjumlah 14 orang (bbc.com, 27/11/2022).
Demikian pula dengan kondisi bangunan yang terdampak bencana juga sangat memprihatinkan. BNPB melaporkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit, 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan 3 fasilitas kesehatan (kompas.com, 26/11/2022).
Fakta duka yang terpampang nyata tersebut nyatanya kurang menarik empati dan simpati penguasa negeri. Mereka butuh penguasa yang peduli, yang betul-betul memperhatikan dan menjamin kebutuhan pokok mereka. Hingga mereka pulih dan kembali hidup normal. Mereka tidak butuh syukuran, sebab untuk bernaung dari hujan saja mereka masih kesusahan.
Mirisnya, acara Nusantara Bersatu justru meninggalkan banyak sampah. Dilansir cnnindonesia.com (27/11/2022), Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan 500 personel pasukan oranye untuk membersihkan dan mengangkut sampah dan berhasil mengumpulkan total 31 ton beragam jenis sampah. Selain personel, juga dikerahkan puluhan kendaraan yang terdiri dari 28 unit mobil lintas (pick up), 14 unit mobil sapu jalan, serta 10 unit truk sampah.
Hal ini menunjukkan minimnya tanggungjawab pengusaha negeri ini. Untuk urusan remeh temeh seperti sampah saja mereka abai. Apalagi urusan berat atas rakyat yang butuh kesungguhan dan keseriusan, serta tanggungjawab yang besar. Padahal seharusnya, ketika acara masing-masing peserta yang hadir bisa bertanggungjawab atas sampah mereka sendiri, sehingga tidak perlu mengotori fasilitas umum.
Ya, begitulah watak penguasa dalam kungkungan sistem kapitalisme saat ini. Kekuasaan seakan penuh dengan kepentingan pribadi dan golongan. Sedangkan urusan rakyat nomor ke sekian.
Hal ini sangat berbeda dalam masa pemerintahan Islam di zaman dahulu. Salah satu contohnya adalah kisah pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Ketika beliau dihadapkan pada kondisi paceklik, beliau mengelola bantuan untuk rakyat dengan sangat baik. Tidak hanya itu, beliau juga turun tangan langsung dalam pendistribusian makanan untuk penduduk. Beliau juga ikut mengotori tangan untuk mengolah adonan roti bercampur zaitun.
Bahkan beliau rela menurunkan taraf hidupnya ke tingkat hidup fakir miskin yang hanya makan seadanya. Beliau juga tidak enggan duduk bersama ribuan orang yang kelaparan dan makan bersama mereka.
Dalam suatu waktu, seorang sahabat Mu’awiyah bin Khudayj mendatangi Umar bin Khattab setelah zuhur. Lalu Umar menyampaikan, “Sungguh celaka ucapanku, atau sungguh celaka prasangkaku. Jika aku tidur siang hari, aku telah menyia-nyiakan amanah rakyatku. Jika aku tidur siang hari, aku telah menyia-nyiakan kesempatanku dengan Tuhanku. Bagaimana aku bisa tidur di kedua waktu ini, wahai Mu’awiyah?”
Ucapan Umar bin Khattab tersebut adalah bukti sebagimana persaksian sahabat lain, bahwa Umar adalah seorang pemimpin yang malam-malamnya untuk salat dan siangnya untuk puasa demi hajat rakyatnya. Hal ini juga membuktikan bahwa seorang Khalifah Umar bin Khattab selalu bersama rakyat dalam suka maupun duka.
Sungguh, betapa mulia jika kepemimpinan didasarkan pada ketundukan dan ketaqwaan atas Allah SWT. Sebab, yang dinantikan bukanlah harta dan kekuasaan semata, tetapi surga yang kekal selamanya. Rasulullah SAW juga telah memperingatkan,
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan baginya surga” (HR. Bukhari)
[LM/nr]