Mahasiswa Terjerat Pinjol, Kok Bisa?

Oleh Trisna Abdillah

Lensa Media News – Baru-baru ini publik digemparkan dengan adanya berita ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) terjerat Pinjaman Online (pinjol). Berawal dari pencarian tambahan pendanaan kegiatan kampus, para mahasiswa tergiur proyek investasi berkedok pinjol dengan iming-iming keuntungan. Namun sayang, bukannya untung mereka justru mengalami kerugian hingga miliaran rupiah.

Menanggapi hal tersebut Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L. Tobing mengatakan pihaknya sudah berupaya untuk mengatasi maraknya pinjol ilegal namun masih saja ada korbannya. Menurut Tongam hal itu terjadi karena adanya demand atau permintaan masyarakat terhadap pinjol. Adapun banyaknya korban yang tertipu oleh modus-modus pinjol ilegal disebabkan minimnya literasi keuangan.

Tongam pun memastikan terkait berita mahasiswa IPB menjadi korban pinjol itu tidak benar. Karena yang melakukan penipuan adalah toko online. Ia juga mengingatkan bahwa saat ini terdapat 102 pinjol legal yang terdaftar di OJK, di luar dari pada itu adalah ilegal. (kompas.com,21/11/2022).

Rasionalitas Tersandera Gaya Hidup

Pinjol saat ini menjadi “solusi jitu” bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat. Terlebih sejak adanya pandemi Covid-19 pinjol menjadi alternatif pembiayaan individu demi bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, kemudahan pencairan dana yang disodorkan oleh aplikasi pinjol juga berimbas dengan sikap konsumtif masyarakat, tidak terkecuali intelektual muda.

Menengok dari kasus ratusan mahasiswa terjerat pinjol, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito mengatakan, mahasiswa menempati posisi yang rentan di tengah maraknya tawaran pinjol, salah satunya karena tuntutan gaya hidup yang semakin tinggi. Ia menambahkan bahwa saat ini media sosial telah menjadi ajang pamer, tidak jarang ada mahasiswa yang memaksakan kemampuannya untuk mengikuti tren di media sosial.

Dari sini kita dapat menyimpulkan ada beberapa faktor yang mendukung maraknya korban pinjol di berbagai kalangan, termasuk kalangan mahasiswa. Yang pertama, peran media sosial. Fenomena media sosial yang kerap menampilkan berbagai kemewahan membuat gaya hidup masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya semakin konsumtif. Mulai dari fashion, liburan, nongkrong di kafe mahal, atau beli gadget keluaran terbaru.

Kedua, menjamurnya aplikasi pinjol yang didukung dengan masifnya iklan penawaran yang menggiurkan. Semisal, kemudahan pencairan dana, bunga yang rendah, diskon belanja dan sejenisnya. Ketiga, rendahnya literasi terkait risiko dibalik transaksi pinjol.

Padahal jamak diketahui risiko yang didapat saat menunggak pembayaran pinjol terutama pinjol ilegal, pengutang harus siap-siap mendapat tagihan yang tidak masuk akal. Ditambah dengan intimidasi dari debt collector, ancaman penyebaran informasi dan teror-teror keji lainnya yang kerap membuat korban stres. Tak jarang korban jeratan pinjol memutuskan untuk bunuh diri.

Akan tetapi nampaknya bertindak rasional sangat sulit dalam kungkungan sistem kapitalis sekuler saat ini. Di mana standar kebahagiaan seseorang diukur dari keberhasilan memenuhi segala apa yang diinginkan, dan dianggap sukses ketika berhasil mengumpulkan pundi-pundi materi.

Sistem kapitalis sekuler yang bercokol di negeri ini telah nyata menjauhkan agama dari kehidupan. Halal haram tidak lagi menjadi standar benar dan salah. Hal ini diperkuat dengan diterapkannya kurikulum sistem pendidikan sekuler berorientasi materialis dan pragmatis. Alhasil sistem seperti ini hanya mencetak generasi yang jauh dari kepribadian Islam.

Butuh Literasi Ideologis

Pinjol tidak lepas dari praktik ribawi dan sepatutnya tidak dipandang sebatas persoalan personal atau kejahatan penipuan. Sebab pinjaman ribawi sesungguhnya merupakan keresahan sosial yang menimpa bangsa ini.

Bagaimana tidak, kita menyaksikan sendiri utang ribawi menjerat dari hulu sampai hilir. Negara terbebani utang, rakyat pontang-panting dikejar debt collector pinjol, bahkan sosok yang seharusnya menjadi tumpuan harapan peradaban yang lebih baik justru ikut terjerumus pinjol.

Lantas bagaimana solusi untuk keluar dari masalah ini? Ideologi kapitalis sekuler memandang persoalan korban pinjol hanya sebatas kasus penipuan akibat dari kurangnya literasi keuangan dan literasi digital. Selain itu pinjol ilegal dinilai lebih bahaya dibanding dengan pinjol legal.

Padahal dalam kacamata Islam pinjaman berbasis ribawi tidak diperbolehkan, apa pun bentuknya. Sebagaimana firman Allah Swt. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al Baqarah:275)
Adanya kasus pinjol semestinya ditilik lebih dalam.S

atu-satunya solusi tuntas memberantas maraknya praktik pinjol adalah penyadaran sistemis bagi penguasa dan seluruh rakyat negeri ini. Melalui penguatan akidah dan pemahaman syariat Islam tentang haramnya riba, bahwa Allah dan rasul-Nya menantang perang bagi pelaku riba (lihat QS. Albaqarah:279).

Jadi bagaimana mungkin suatu negeri menjadi aman, tenteram, damai dan sejahtera jika perlakuan penduduknya menyelisihi Sang Pencipta alam semesta? Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Jauhi tujuh perkara yang membinasakan, salah satunya adalah riba”. (muttafaq ‘alaih).

Selain itu, Karena persoalan pinjol adalah masalah sistemis maka solusinya harus membuang sistem kapitalis sekuler dan digantikan dengan sistem sahih yang berasal dari Pemilik kehidupan yaitu sistem Islam.

(Wallahu’alam Bishowab)

[LM,ak]

Please follow and like us:

Tentang Penulis