Dari Kasus Sambo, Hingga Teddy. Masih Tetap Berharap Pada Sistem Demokrasi?
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Lensa Media News – Pemberitaan tentang polisi tembak polisi masih menjadi perhatian publik. Kasus ini menyeret nama Irjen Ferdy Sambo sebagai salah satu tersangka dari otak pembunuhan Brigadir J. Belum usai kasus pembunuhan ini, menyusul ramai pemberitaan kasus peredaran narkoba oleh eks Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Teddy Minahasa.
Sebagaimana dilansir dari Liputan6.com, Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa diciduk oleh Polri atas dugaan kasus penjual barang bukti narkoba. Hal ini sangat berlawanan dengan pesan yang disampaikan kepada jajaran anggotanya tentang perintah agar tidak ada yang bermain-main dengan menyalahgunakan kewenangan sebagai anggota polisi demi materi. Selain itu, dia menegaskan kepada jajarannya agar jangan ada seorang pun yang menjadi tameng terhadap pelaku kejahatan dengan menggadaikan jabatan sebagai Polri (16/10/2022)
Pernyataan yang disampaikannya sangat bertentangan dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Terlebih, jika kita mengulas kembali tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka sebagai penegak hukum, keamanan, ketertiban masyarakat, dan ketahanan nasional. Bisa dibayangkan, aparat yang seharusnya menjadi pihak di garda terdepan untuk memberantas kejahatan ini justru terlibat sebagai pengguna dan pengedarnya.
Sungguh ironis, banyaknya aparat negara yang melakukan tindak kriminalitas. Mulai dari kasus judi online hingga narkoba yang semakin marak saja. Hal ini diperkuat dengan jumlah data Polri, pada 2018, sebanyak 297 anggota kepolisian terjerat kasus narkoba. Pada 2019, jumlahnya naik hampir dua kali lipat menjadi 515 orang. Sementara di 2020, sebanyak 113 polisi dipecat karena pelanggaran berat, antara lain narkoba.
Banyaknya aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak kriminalitas, membuat kredibilitas aparat menurun. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas aparat rendah. Bukan hanya itu, kasus Sambo dan Teddy juga menjadi alarm keras bagi negara untuk membenahi institusi polri secara totalitas dan melakukan upaya bersih-bersih internal aparat yang kedapatan berbuat kriminal. Berulangnya kasus serupa dan banyaknya aparat terlibat bukan karena kesalahan individu semata, melainkan sistem yang diterapkan saat ini. Lantas, masih ingin bertahan dengan sistem saat ini?
Wajar saja kasus tindak kriminalitas seperti ini terus terjadi manakala kita hidup dalam aturan yang dibuat manusia yaitu sistem yang menjauhkan manusia dari penciptanya. Atmosfer sistem kapitalisme telah mengungkung orang-orang di dalamnya, termasuk aparat penegak hukum. Sistem yang mengorientasikan pada kebahagian dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampak yang diterima.
Sekalipun negeri ini telah menerapkan berbagai aturan dan regulasi, namun faktanya tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Terlebih, pelakunya sendiri adalah aparat penegak hukum maka wajar saja jika kasus narkoba ini tak pernah usai. Bagaimana bisa ingin membasmi sebuah persoalan berat dan harus melibatkan aparat polisi, tapi justru pelakunya adalah aparat itu sendiri. Sesuatu yang mustahil untuk bisa dituntaskan.
Padahal Islam sendiri dengan tegas melarang barang haram tersebut. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90)
Banyak sekali dampak yang dialami dengan mengkonsumsi narkoba. Narkoba mampu melemahkan akal dan jiwa. Hal ini sesuai dengan hadis dengan sanad shahih dari Ummu Salamah. Beliau mengatakan, “Rasulullah saw. melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir (yang membuat lemah).”
Selain itu, menjadi pengedar narkoba akan menjadikan seseorang kaya raya. Inilah yang membuat masyarakat bahkan aparat penegak hukum ikut mengedarkannya demi meraup harta sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini, sudah seharusnya negara dari penjual, pengedar, pemakai, hingga pabrik-pabrik yang memproduksinya. Sanksi bagi pelaku judi dan narkoba berupa takzir yang dapat berbeda-beda sesuai kadar kesalahannya. Hukuman bagi pelaku baru tentu berbeda dengan pelaku kriminal yang lama. Sanksi ta’zir bisa berupa penjara, cambuk, hingga hukuman mati.
Dalam Islam, standar hidup manusia harus terikat dengan aturan Allah. Ketakwaan dibangun tidak hanya pada individu saja, melainkan negara yang ikut andil dalam menerapkan aturan syariat Islam secara kaffah (totalitas). Negara juga wajib mengontrol dari setiap bisnis haram atau pelaku industri yang memproduksi barang haram tersebut.
Pelaksanaan tersebut akan berjalan sesuai aturan syariat Islam manakala aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai kehidupan Islam. Dengan demikian, baik individu, masyarakat, aparat penegak hukum, dan negara mampu mewujudkan ketakwaan secara total bukan parsial. Sehingga, kemuliaan Islam bisa dirasakan oleh semua pihak.
Wallahu’alam