Tragedi Kanjuruhan : Potret Fanatisme Merugikan

Oleh : Indah Nurhayati

(Aktivis dakwah) 

 

Lensa Media News – Duka mendalam datang dari dunia persepakbolaan Indonesia beberapa waktu lalu, tak ada yang menyangka Pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Kanjuruhan berakhir tragis. Ratusan nyawa melayang akibat pada peristiwa tersebut.

Insiden ini mengakibatkan, sebanyak 127 suporter tewas, termasuk dua petugas kepolisian, 34 korban tewas di tempat, dan sisanya meninggal saat mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan 180 lainnya mengalami luka-luka (Kompas.com 1/10).

Tragedi bermula dari kekalahan yang dialami oleh tim Arema FC ketika melawan Persebaya Surabaya yang merupakan kekalahan pertama Arema FC setelah 23 tahun terakhir.

Dilansir dari CNN Indonesia (2/10), Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan bahwa pertandingan sebenarnya berjalan lancar. Namun ketika laga berakhir, sejumlah pendukung Arema FC merasa kecewa.

Setelah kekalahan tersebut, sebanyak 2000 suporter berbondong turun ke lapangan, seorang korban dalam tragedi tersebut menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan semata mata untuk menyampaikan protesnya karena Arema FC kalah dengan Persebaya, namun hal tersebut malah mendapat respon negatif dari petugas, banyak suporter yang dipukul oleh petugas juga gas air mata yang ditembakkan sehingga menyebabkan mereka panik dan berhamburan ke arah pintu keluar

Kepanikan yang terjadi menyebabkan para suporter berdesakan dan mengalami sesak nafas, banyak juga dari mereka yang terinjak-injak hingga mengalami cedera.

Penembakan gas air mata yang dilakukan oleh petugas menjadi sorotan tersendiri, pasalnya hal tersebut dilarang dalam aturan FIFA, namun, Mahfud MD selaku menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan menyebut bahwa penembakan gas air mata dilakukan untuk memudahkan aparat mengendalikan masa (CNN Indonesia, 2/10).

Ini bukan pertama kalinya terjadi tragedi dalam dunia sepak bola. Kejadian yang sama pun telah terjadi sebelumnya diberbagai negara, seperti kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 di akhir pertandingan antara rival Al-Masry dan Al-Ahly di kota Port Said, Mesir yang menyebabkan 73 orang tewas dan lebih dari 1.000 terluka. Pada tahun 1996 pun 82 orang tewas dan sedikitnya 147 terluka ketika longsoran suporter jatuh dari kursi dan tangga pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia antara Guatemala dan Kosta Rika di Guatemala City. (KOMPAS.COM 2/10).

Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan lepas tangan negara dalam mengahadapi persoalan ini.

Di sisi lain, penggunaan gas air mata yang sejatinya dilarang dalam pertandingan sepak bola untuk mengendalikan kerusuhan menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Aparat seharusnya melakukan tindakan yang tepat dalam menghadapi persoalan ini.

Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatisme golongan yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya. Akibat fanatisme berlebih para suporter, kekalahan yang seharusnya bisa diterima dan merupakan hal biasa terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola menjadi kekecewaan yang mendalam sehingga memancing aksi kerusuhan.

Jangan sampai hobi dan kecintaan kita terhadap sesuatu menyebabkan kita merelakan segalanya termasuk menyakiti saudara kita, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Wallhu ‘alam..

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis