Wajibnya Speak Up tentang Solusi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Oleh: Nurintan Sri Utami
Lensa Media News – Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali mendapat sorotan akibat menghampiri salah satu keluarga selebriti. Banyak tanggapan yang dikeluarkan oleh ahli dan politisi. Salah satunya datang dari Menteri PPPA yang kembali mengajak masyarakat berani angkat bicara apabila menjadi korban atau saksi kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak.
Kampanye terkait hal ini juga telah dijalankan yaitu “Dare to Speak” sejak setahun ke belakang. Kampanye ini dianggap sebagai solusi praktis untuk menguak seluruh kasus kekerasan yang terjadi. Meski sudah berjalan agak lama, kasus kekerasan dalam rumah tangga mulai tanggal 1 hingga 21 Februari 2022 ada sekitar 1411 kasus. Jika dirata-rata, maka per hari bisa sampai 23 kasus. Itu yang terlapor. Belum lagi jika kita buka data di tahun 2021 maka ada 10.247 kasus di tingkat nasional dengan korban sebanyak 10.368 (polri.go.id). Korban tidak hanya dari kalangan perempuan, namun juga dari kalangan laki-laki.
Negara menganggap kasus kekerasan terjadi karena tidak mandirinya perempuan secara ekonomi lalu akhirnya mudah ditindas. Namun solusi kemandirian ekonomi tidaklah berhasil membuat keluarga terbebas dari kasus kekerasan. Bahkan mungkin hari ini banyak perempuan yang melakukan KDRT kepada suami karena merasa mandiri secara ekonomi (unggul).
Kasus kekerasan yang tiada henti menghinggapi keluarga Indonesia dan banyak di dalamnya adalah keluarga muslim, mestinya menjadikan negara ber-muhasabah (melakukan evaluasi). Apa yang sesungguhnya salah dari penerapan aturan yang ada? Tidak hanya memandang dari sisi hilir atau kasus yang sudah terjadi, tapi harus memandang dari sisi hulu mengapa kasus kekerasan terus terjadi.
Untuk memecahkan problem ini maka hal yang harus diperhatikan adalah pertama, standar dalam ketidakadilan. Standar ketidakadilan selama ini berasal dari sudut pandang feminis yaitu wanita itu tertindas, maka hak-hak istri yang harus dilindungi. Padahal dalam berumah tangga, hak dan kewajiban suami-istri sama-sama harus dijaga.
Kedua, makna kekerasan itu sendiri. Kekerasan yang dimaksud harus jelas dan tidak berat sebelah. Istri yang paling baik itu yang taat saat diperintah oleh suami (selama dalam koridor tidak melanggar hukum Allah). Ketaatan istri mampu mengantarkannya pada rida suami dan rida suami mengantarkan ke surga. Begitu juga sebaliknya bahwa suami yang baik kepada istrinya akan mendapatkan rida dari Allah SWT.
Kedua hal di atas bisa jelas jika visi-misi pernikahan itu jelas dan suami-istri sudah memiliki ilmu terkait pernikahan. Di sinilah fungsi negara sebagai pengurus masyarakat harus berjalan. Negara harus memberikan pendidikan yang memadai agar suami maupun istri mengerti tentang visi-misi pernikahannya yaitu untuk meraih rida Allah, sehingga tidak mungkin saling menyakiti. Jikapun sampai menyakiti, maka negara akan dengan tegas menindak kasus tersebut dengan cepat dan tepat. Karena di sistem hari ini mengurus kasus demikian membutuhkan biaya yang cukup banyak dan waktu yang tidak sebentar.
Maka sesungguhnya kita tidak hanya harus speak up tentang kasus kekerasan, namun harusnya menghadirkan solusi ke tengah-tengah umat agar solusi ini diambil. Wajibnya speak up tentang kebenaran ini seperti yang disampaikan di Al-Quran surah Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.”
Solusi yang sudah dituliskan sebelumnya hanya mampu terealisir jika negara menganut sistem kehidupan Islam, yang mampu menjaga seorang individu tidak melakukan kekerasan karena takut kepada Allah. Pun masyarakat yang saling menasihati. Serta negara yang memberikan edukasi maksimal dan menutup pintu-pintu terjadinya kemaksiatan dalam bentuk kekerasan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]
Please follow and like us: