Pondok Pesantren Kembali Tercoreng; Ada Apa?

Oleh : Yuke Octavianty

(Forum Literasi Muslimah Bogor) 

Lensa Media News – Belum lama berselang, perbuatan “tak layak” di pondok pesantren yang dilakukan oknum pengajar tak bertanggung jawab, kembali terulang. Kini, terjadi kembali kejadian serupa di Bontang, Kalimantan Timur. Pemerkosaan santri dilakukan oleh putra pimpinan pondok pesantren (detiksulsel.com, 9/10/2022).

Tak hanya pemerkosaan, kasus pelecehan pun terjadi di lembaga tersebut. Orang tua santri menuturkan adanya indikasi kasus pelecehan setelah dilakukan pemeriksaan gawai milik pelaku. Di dalamnya terdapat rekaman video serta foto-foto santriwati yang baru keluar dari kamar mandi. Memprihatinkan. Hingga akhirnya, orang tua santri melaporkan kejadian tersebut kepada Polsek setempat. Polsek pun akhirnya menutup pondok pesantren, yang ternyata tak memiliki izin.

Menanggapi tragedi pelecehan yang terus berulang di pondok pesantren, Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (KPRK MUI), menetapkan beberapa rekomendasi untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di pondok pesantren (republika.co.id, 1/9/2022). Ketua KPRK MUI, Siti Ma’rifah, segala tindak kekerasan seksual menodai citra baik pondok pesantren pada umumnya. Sebab, masih banyak pesantren yang konsisten menjaga marwah dan melandaskan pengembangan pendidikan berbasis nilai-nilai syariat Islam. Demikian lanjutnya. Sehingga sangat disayangkan, jika noda ini menjadi penghalang bagi para orang tua untuk mendidik anaknya melalui lembaga pondok pesantren.

Buruknya potret pendidik generasi seharusnya menjadi refleksi bagi kita. Bahwa sistem ini mustahil mencetak pendidikan berkualitas dalam pondasi sistem yang rusak. Bahkan destruktif. Sistem cacat yang merusak segala bidang kehidupan. Selayaknya, lembaga pendidikan dapat menjadi sandaran bagi umat dalam proses lahirnya generasi cerdas dan gemilang. Apalagi, lembaga yang menjadikan Islam sebagai nadi kehidupan sehari-hari. Seperti pondok pesantren. Inilah akibat buruknya sekulerisme. Paham yang memisahkan penerapan aturan agama dari kehidupan.

Ilmu agama (akidah Islam) yang mumpuni wajib menjadi dasar dalam pola pikir dan pola tindakan. Namun, dalam sistem ini, justru ilmu akidah tak dapat diterapkan sempurna. Akhirnya menghasilkan pola tindakan yang tak manusiawi. Pola tindakan yang jauh dari aturan Islam. Karena hanya menjadikan ilmu agama sebatas pemenuhan kebutuhan akan ilmu saja. Tanpa peduli perlu diterapkan atau tidak. Dan hal tersebut yang menimbulkan mudharat (bahaya) bagi masyarakat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Dan yang lebih miris lagi, masyarakat memandang lembaga pondok pesantren dengan generalisasi negatif. Masyarakat menganggap bahwa pondok pesantren, menjadi lembaga yang tak ideal bagi umat. Karena kesalahan segelintir oknum pengasuh pondok pesantren. Islamophobia pun makin membara. Hingga akhirnya masyarakat apatis dengan kondisi yang ada. Pasrah tanpa ada usaha memperdalam ilmu syariat Islam, yang seharusnya menjadi dasar dalam pengurusan segala masalah kehidupan.

Islam, the way of life. Islam adalah pondasi kehidupan. Ilmu syariat Islam seharusnya menjadi dasar untuk mengurusi segala urusan kehidupan di dunia, bahkan hingga urusan kehidupan setelah kematian. Gambaran fakta ini menyadarkan kita bahwa setiap ilmu syariat Islam wajib diterapkan dalam kehidupan. Tanpa tapi dan tanpa nanti. Ilmu syariat Islam ini hanya dapat diterapkan sempurna dalam sistem yang shahih (benar). Dan Islam-lah satu-satunya sistem yang benar. Sistem dalam wadah institusi khas, Khilafah manhaj An Nubuwwah, yang dapat mewujudkan maslahat bagi seluruh umat.

Wallahu a’lam bisshowwab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis