Keadilan dalam Islam
Oleh: Sri Gita Wahyuti
(Aktivis Pergerakan Muslimah dan Member AMK)
Lensa Media News – Kabar terbaru, kasus Covid-19 varian Omicron melonjak naik. Namun, kerumunan kembali terjadi. Kali ini terjadi pada saat perayaan Imlek pada Selasa, 01 Februari 2022 di Mal Festival Citylink, Bandung. Aksi kerumunan yang menampilkan atraksi Barongsai itu akhirnya mendapatkan sanksi penutupan sementara Mal selama tiga hari dan denda Rp500.000.
Kerumunan sebelumnya juga terjadi di Kabupaten Subang, Jawa Barat dalam acara Konser Musik di Taman Anggur Kukulu, Kecamatan Pagaden Barat. Padahal juru bicara Satgas Covid-19 Kabupaten Subang mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberi izin atas gelaran konser tersebut.
Kedua kasus kerumunan tersebut mengingatkan kita pada kasus kerumunan yang sama yang pernah terjadi sebelumnya. Dengan kegiatan dan pelaku yang berbeda serta perlakuan yang berbeda pula dari pemerintah dalam menanganinya. Denda yang dijatuhkan kepada pemilik Mal Festival Citylink ini dinilai sangat rendah dibanding denda yang dijatuhkan kepada seorang ulama dalam pesta pernikahan dan seorang tukang bubur dalam kasus pelanggaran PPKM. Keduanya dijatuhi sanksi denda jutaan rupiah sedangkan pengelola Mal hanya didenda ratusan ribu rupiah.
Dari perbedaan perlakuan tersebut, publik dapat melihat bahwa pemerintah telah gagal dalam menegakkan aturan dan kebijakan yang dibuat sendiri. Selama ini pemerintah memang terlihat tidak konsisten dalam hal protokol kesehatan. Masyarakat diminta untuk selalu memperhatikannya, namun pemerintah sendiri mengabaikan imbauan tersebut. Seperti saat Presiden Jokowi mengunjungi Danau Toba, Sumatera Utara, pemerintah tidak dapat mengantisipasi kerumunan. Sikap pemerintah yang tidak konsisten inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi abai terhadap protokol kesehatan. Menjadi wajar bila masyarakat sudah mulai tidak percaya kepada pemerintah. Mereka jelas-jelas telah gagal mewujudkan keadilan hukum bagi masyarakat juga tidak mampu memberikan keteladanan.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan Islam yang menjunjung tinggi keadilan. Islam tidak memperhatikan lagi derajat, status, dan jabatan. Siapapun dia, jika terbukti melanggar syariat maka sanksi akan dijatuhkan padanya tanpa terkecuali. Sebab hukum Allah sajalah yang menjadi standar baku dalam sistem peradilan Islam, sehingga tidak akan terjebak oleh politik kepentingan. Sebagaimana realitas hukum buatan manusia pada sistem demokrasi-sekuler saat ini, hukum menjadi alat politik dan kepentingan yang rentan untuk diperjualbelikan.
Keadilan hukum dalam Islam bisa terlihat dari sikap Rasulullah saw. ketika beliau didatangi oleh Usamah bin Zaid yang meminta beliau untuk tidak menghukum Fatimah Al-Makhzumiyyah, putri pembesar Bani Makhzum yang mencuri. Di depan para sahabat beliau berdiri dan berkata,
“Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian semua adalah disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Ketika salah seorang yang dianggap memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi mencuri, mereka melewatkannya atau tidak menghukumnya. Namun, ketika ada seorang yang dianggap rendah, lemah dari segi materi, ataupun orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, dan orang-orang biasa, mereka menghukumnya. Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 4304)
Dalam Islam, keadilan bukanlah sesuatu yang sulit untuk didapatkan. Keadilan bahkan telah menjadi pengukuh tegaknya sistem Islam selama berabad lamanya. Mengayomi semua umat, baik dari kalangan pejabat maupun rakyat biasa. Kepentingan rakyat adalah prioritas kerja penguasa. Begitu agungnya sistem Islam. Perbedaan perlakuan pada pelaku pelanggaran tidak akan ditemukan dalam sistem Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]