Tol Cigatas untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Ummu Jemima

 

Lensa Media News – Denyut pembangunan infrastruktur jalan seperti tidak ada matinya, mulai dari ujung Papua sampai ibu kota serentak membahana. Seolah tak ingin ketinggalan, Jawa Barat yang memang banyak ditunjang sektor pariwisata pun ikut meramaikan gemerlapnya pembangunan jalan tol, seperti proyek Tol Cigatas.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Jalan Bebas Hambatan dan Perkotaan, Direktorat Jendral Bina Marga, Kementerian PUPR, Hedy Rahadian, bahwa rencana pembangunan jalan Cigatas ditargetkan akan beroperasi pada 2024. Hedy menyatakan, “Kami punya tahap 1 sampai Tasikmalaya bisa beroperasi pada 2024. Berdasarkan target itu kami harus segera memproses persiapan ini selesai, persiapan dokumen, terutama trase.” Hal itu dia sampaikan setelah rapat bersama Ridwan Kamil. Gubernur Jawa Barat pun memfasilitasi rapat bersama perwakilan daerah, yang mana wilayahnya dilintasi Cigatas. Pada rapat tersebut membahas kepastian trase dan akses tol.

 

Proyek Berbau Kepentingan Investor

Memang sudah dipahami bersama, setiap proyek infrastuktur di Indonesia selalu melibatkan pihak pengembang. Ini merupakan pola yang sudah biasa dijalani secara turun temurun dari rezim ke rezim. Apalagi sekarang dengan banyak program pembukaan sistem transportasi yang terintegrasi, atau sebut saja Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, seperti yang diketahui proyek tersebut dibangun oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China atau KCIC. Dimana pemerintah mendapat sorotan karena menyuntikkan dana melalui penggunaan APBN. Dana yang dikeluarkan 8 miliaran dolar AS. Adapun bantuan yang diberikan ialah dalam bentuk modal negara (PMN), penjaminan proyek, hingga izin penertiban surat utang atau obligasi bagi PT Kereta Api (persero) atau KAI selaku pimpinan konsorsium proyek. Padahal menurut ekonom senior UI Faisal Basri mengatakan, “Proyek kereta cepatlah yang tadinya business to business sebentar lagi disuntik pake APBN.” Lebih lanjutnya, Faisal menyinggung bahwa sebentar lagi rakyatlah yang akan membiayai proyek tersebut. “Bentar lagi rakyat membayar Kereta Api Cepat yang barangkali ongkosnya Rp 400.000 sekali jalan dan diperkirakan sampai kiamat pun tidak akan balik modal,” tuturnya.

Kalau kita lihat jauh sebelumnya, kita sebenarnya sudah mempunyai alat transportasi yang memadai dengan sistem yang sudah terbangun dan terkoneksi wilayah satu dengan yang lainya. Lantas sebenarnya ini untuk siapa? Tentu dari awal yang diuntungkan adalah investor. Jenis transportasi seperti inipun tidak akan menyentuh semua kalangan dan tentunya berorientasi pada keuntungan (balik modal), bukan pure melayani hajat hidup masyarakat.

Hal inipun kiranya yang menjadi landasan proyek Cigatas seperti yang disampaikan Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa yang mengatakan bahwa proyek Jalan Tol Cileunyi-Garut-Tasikmalaya banyak diminati investor. Pasalnya, keuntungan menggarap jalan tol ini cukup menggiurkan karena dalam sepuluh tahun diperkirakan bisa balik modal. “Dalam waktu sepuluh tahun diperkirakan sudah kembali investasinya,” kata Iwa di Bandung.

 

Sistem Transportasi Islam Berbasis Pelayanan

Memang sulit apabila kita sandingkan perbedaan sistem transportasi di zaman keemasan Islam dengan sekarang. Pangkalnya berawal dari paradigma berpikir yang terletak pada akidah. Pertama, Islam memandang transportasi bagian dari kewajiban negara maka bentuknya adalah pelayanan. Sehingga negara berkontribusi memberikan kemudahan dan haram hukumnya negara melibatkan pihak pengembang (investor). Sebagaimana Sultan Abdul Hamid II yang menginisiasi membangun proyek kereta api Damaskus-Amman, Makkah tanpa menghadirkan investor. Padahal pengeluaran dana yang dibutuhkan sangat besar pada saat itu, namun landasannya utamanya semata-mata untuk pelayanan umat. Hal ini berawal ketika saat itu para jemaah haji mengalami kesulitan ketika ke Makkah yang harus menghabiskan waktu 40 hari, sehingga dengan adanya kereta tersebut perjalanan dipangkas menjadi 5 hari. Maka dibuatlah rute kereta tersebut tanpa berpikir mencari keuntungan atau balik modal.

Yang menarik lagi, Sultan Abdul Hamid II tidak menyekat kereta hanya sampai satu wilayah, akan tetapi membangunnya secara utuh hingga sampai Makkah. Hal ini menjadi simbol persatuan umat yang lahir dari akidah. Sang pemimpin memahami betul apapun bentuk pelayanannya akan sampai pada tujuan Sang Pencipta.

Kedua, Islam memilki kebijakan yang efektif di setiap kebijakannya. Seperti pembangunan jalan, masjid, sekolah, dan sarana umum yang lainnya disesuaikan dengan jumlah penduduk dan kebutuhan. Sehingga tidak ada anggaran pemborosan.

Wallahu a’lam.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis