Salam Pancasila, Mampukah Mempersatukan Bangsa?
Oleh: Dewi Royani, MH
Lensa Media News – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi mengklarifikasi polemik pernyataannya tentang Salam Pancasila. Ia mengatakan Salam Pancasila bukan dimaksudkan sebagai pengganti salam keagamaan melainkan sebagai salam kebangsaan. (Antaranews.com, 22/01/2022)
Masih dari sumber yang sama, bahwa Salam Pancasila adalah salam yang menjembatani dan menjadi titik temu bagi rakyat tanpa melihat latar belakang apa pun. Pengucapannya di ranah publik bertujuan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, tidak terpecah belah. Ia pun mengatakan Salam Pancasila adalah perbuatan adat yang jika diniatkan ibadah akan mendapatkan pahala. Pertanyaan selanjutnya adalah faktor apakah yang menyebabkan bangsa ini terpecah belah?
Sebagian kalangan menyatakan bahwa agama sebagai sumber perpecahan dan disintegrasi yang terjadi selama ini. Sikap intoleran antar pemeluk beragama dituding sebagai sebab utama perpecahan. Padahal apabila ditelisik lebih jauh maka akan didapatkan banyak hal yang menjadi penyebab perpecahan atau konflik di negeri ini. Fakta menunjukkan bahwa perpecahan yang terjadi di Indonesia seringkali disebabkan karena ketidakadilan. Ketidakadilan dalam bidang ekonomi, hukum, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Semua itu berpotensi menimbulkan perpecahan atau konflik.
Ketidakadilan ekonomi misalnya, akan menyebabkan kekecewaan yang dapat berakhir pada konflik dan disintegrasi. Sebut saja Papua yang merupakan wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi, para Kapitalis dan pemilik modal besar menguasai kekayaan tersebut. Sementara rakyat Papua tidak mendapatkan apa-apa, bahkan jauh dari kata sejahtera. Hal ini tentu akan memunculkan kekecewaan dan berakhir dengan disintegrasi.
Ketidakadilan dalam bidang hukum juga mengantarkan pada kekecewaan dan perpecahan. Apabila yang bersalah adalah kelompok orang-orang Kapital maka didiamkan, tetapi jika yang bersalah adalah rakyat jelata, maka penanganannya dipercepat, bahkan dicari-cari pasal yang memberatkan. Pada gilirannya, alih-alih memberikan keadilan pada masyarakat, kondisinya justru menjadikan hukum sangat mudah diperjualbelikan.
Perpecahan di negeri ini diperkeruh dengan dihembuskannya narasi radikalisme. Dengan isu radikalisme, ajaran Islam dan para pejuangnya diposisikan sebagai pihak tertuduh. Mereka dicurigai dan mendapat julukan anti pancasila, anti NKRI, intoleran dan pemecah belah bangsa.
Fadli Zon pernah mengatakan bahwa radikalisme yang dihembuskan pemerintah justru menyebabkan perpecahan di dalam masyarakat. (Kumparan.com, 27/12/2019)
Sejatinya, ketidakadilan yang terjadi disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme – liberalistik. Lalu, pantaskah menuding agama (yang sering diarahkan pada Islam) sebagai biang kerok perpecahan di negeri ini?
Islam adalah ideologi yang menghargai keragaman. Secara faktual, sejarah Islam mencatat lebih dari 2/3 dunia, di mana tiga benua mampu dipersatukan oleh Islam. Selama 14 abad di bawah naungan sistem Islam yakni Khilafah Islamiah berbagai suku bangsa, hidup damai, rukun, dengan toleransi yang luar biasa belum pernah ada dalam sejarah peradaban mana pun.
Perpecahan yang terjadi saat ini justru karena ketiadaan Khilafah yang menyatukan berbagai bangsa dan memberikan rasa keadilan. Meski agamanya sama, bangsanya juga sama, akan tetapi kesamaan tersebut tidak bisa menyatukan mereka menjadi negara yang kuat.
Tidak ada jalan lain kecuali kembali pada Khilafah Islam ‘ala minhaj an-nubuwwah yang akan menerapkan seluruh syariah Islam. Inilah solusi yang akan menjadikan negeri ini menjadi sebuah peradaban yang berkembang, adil, dan makmur.
Wallahu a’lam bisshawab.
[LM]