Pemindahan IKN, Siapa yang Diprioritaskan?

Oleh: Yuke Octavianty

(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)

 

Lensa Media News – Sudah jatuh, tertimpa tangga. Rasanya peribahasa ini tepat untuk menggambarkan nasib rakyat saat ini. Di tengah badai pandemi yang belum juga usai, di tengah himpitan ekonomi yang kian menyiksa, rakyat dibuat terbelalak dengan keputusan pemerintah yang menetapkan bahwa Ibu Kota Baru (IKN) siap dilakukan pada tahun 2024. RUU IKN pun telah ditetapkan menjadi UU per 18 Januari 2022 (liputan6.com, 18/1/2022).

Beragam penolakan muncul, mulai dari pihak civitas akademika, tokoh negara hingga rakyat biasa. UU IKN digugat oleh sejumlah tokoh. Salah satunya Ketua Muhammadiyyah, Din Syamsuddin. Pun demikian yang dilakukan oleh Faisal Basri (Ekonom Senior), Azyumardi Azra (Guru Besar Universitas Syarif Hidayatullah) dan Agus Pambagio (Pengamat Kebijakan Publik) ( _fajar.co.id_, 22/1/2022). Para tokoh tersebut akan menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Agar dilakukan pembatalan pemindahan IKN. Karena dinilai tak memiliki urgensitas sama sekali. Civitas akademika dari Universitas Mulawarman, Warkhatun Najidah, pun mengungkapkan penolakannya terhadap penetapan UU IKN (kliksamarinda.com, 12/1/2022). Karena pengesahan ini dinilai mencaplok dan merugikan masyarakat Kalimantan Timur.

Tak hanya cacat secara konstitusi, pemindahan IKN pun tak memperhatikan kelayakan lokasi, daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini diungkapkan oleh Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu Perdana (CNNIndonesia.com, 22/2/2022). “Kompleksitas pemindahan ibu kota negara ini tidak hanya melibatkan urusan teknis belaka, seperti anggaran dan infrastruktur, tetapi juga memerlukan kajian mendalam terkait aspek sosial, ekonomi, lingkungan, hingga kultur,” kata Wahyu.

Anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN fantastis luar biasa, yaitu sebesar Rp 466 hingga Rp 468 triliun. Sebanyak 19% dianggarkan dari APBN dan sisanya bersumber dari berbagai bentuk kerjasama dengan pihak swasta dan BUMN (CNNIndonesia.com, 22/1/2022).

Anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) pun disebutkan akan “dikerahkan” untuk pembangunan IKN (kompas.com, 19/1/2022). Lantas bagaimana dengan nasib rakyat yang masih kalang kabut akibat badai pandemi? Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengungkapkan bahwa kebijakan ini sungguh melukai rakyat.

Miris. Saat rakyat masih lemah terluka karena wabah yang belum juga usai, negara justru memiliki kebijakan yang bersebrangan dengan kebutuhan primer umat. Kini sungguh jelas adanya, bahwa negara tak bisa mengurus rakyatnya. Negara menetapkan segala sesuatu karena nafsunya pada kapital. Tanpa memperhitungkan segala akibat yang akan ditimbulkan.

Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto, mengungkapkan bahwa Indonesia tidak memiliki pertimbangan krisis atau pun keharusan mendesak untuk memindahkan ibu kota ( mediaumat.id, 24/1/2022). Bahkan angka penolakan pun sampai 60, 70 bahkan 80% rakyat menolak. Demikian sambungnya. Jelaslah, mega proyek yang kini telah digagas bukan mengacu pada kebutuhan umat.

Tak elok rasanya. Saat luka pandemi masih menganga, namun justru negara memikirkan perkara yang tak memiliki urgensitas sama sekali. Inilah buah sistem yang rusak. Menghasilkan kebijakan-kebijakan yang merugikan nafas umat. Sistem sekuler kapitalistik, berdiri tegak di tengah hilangnya aturan agama dalam bernegara. Sistem yang hanya mengacu pada kantong-kantong oligarki para penguasa. Tak peduli rakyat kelaparan atau kesakitan. Karena rakyat bukanlah tujuan utama.

Sistem Islam mewajibkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Karena inilah perintah Sang Khalik, Allah SWT. Termasuk dalam mengurus negara. Syariat mewajibkan pengurusan umat yang menyeluruh. Mulai sandang, pangan, papan dan seluruh kebutuhan rakyat seharusnya dicukupi oleh negara. Apalagi masa pandemi seperti saat ini. Negara harus memiliki standar prioritas yang jelas. Tentu prioritas utama adalah nasib rakyatnya.

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya,

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan di mintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin (negara/daerah) adalah pemimpin (bagi warga/rakyatnya) dan akan di mintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhari).

Sistem yang meniadakan aturan agama sudah pasti melahirkan para pemimpin yang tak amanah. Wajar saja, jika tak peduli pada nasib rakyat. Secara alamiah pasti melahirkan malapetaka. Karena menyalahi segala aturan yang telah ditetapkan Allah Azza wa Jalla.

Syariat Islam yang menyeluruh dalam pengaplikasiannya, hanya dapat terlaksana sempurna adalah wadah yang jelas dan shahih. Khilafah manhaj An Nubuwwah, satu-satunya wadah sempurna terlaksananya syariat Islam. Dengannya, sejahtera dunia akhirat akan diraih.

Wallahu a’lam bisshowwab. 

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis