Hukum Mati Dipersoalkan, Buah Penerapan HAM yang Kebablasan

Oleh : Ummu Hanif

(Pemerhati Sosial dan Keluarga) 

 

Lensa Media News – Herry Wirawan,
terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Bandung, Jawa Barat, menjalani persidangan lanjutan pada Kamis, 20 Januari 2022 kemarin. Dalam persidangan yang digelar oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung secara online, Herry Wirawan berkesempatan membacakan nota pembelaan atau pleidoi dari Rumah Tahanan (Rutan) Kebonwaru Bandung. (www.cnnindonesia.com, 20/01/2022)

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santriwati Madani Boarding School Bandung Jawa Barat, Herry Wirawan, untuk dihukum mati saat persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1). Selain itu terdakwa diminta untuk dihukum kebiri kimia. Selain itu, Herry juga harus membayar denda 500 juta, membayar denda restitus kepada para korban 331 juta. Serta sangsi non material berupa pengumuman identitas, yakni identitas terdakwa disebarkan. Ia mengatakan tuntutan yang diberikan kepada terdakwa mengacu kepada pasal 81 ayat 1 ayat 3 dan 5 junto pasal 76 huruf D UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU junto pasal 65 ayat 1 KUHP. (www.republika.co.id, 21/01/2022)

Banyak tokoh masyarakat yang mendukung tuntutan jaksa, karena dianggap membawa keadilan bagi seluruh pihak. Namun berbeda halnya dengan Komisioner Komnas HAM, Bela Uluing Hapsara, tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati tersebut karena bertentangan dengan prinsip HAM. Bela menuturkan bahwa hak hidup seseorang tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun (non derogable rights). (www.jawapos.com, 13/01/22).

Seperti diketahui, kejahatan dan kekerasan seksual, sampai saat ini belum mendapat hukuman yang bisa membuat jera pelaku. Sehingga menjadi wajar, jika kasus kekerasan seksual terus merebak. Hukuman mati, yang dianggap oleh ahli hukum menjadi salah satu alternatif hukuman yang bisa membuat jera pelaku, justru menimbulkan polemik ketika mau diterapkan. Demikianlah ketika manusia diberi kebebasan untuk membuat aturan, mereka akan mengedepankan buah pikirnya meski belum tentu kebenarannya. Padahal, setinggi – tingginya Hak Asasi Manusia tidaklah boleh lebih tinggi dari Hak Asasi Allah.

Dan kalau kita mau jujur, justru karena mengatasnamakan kebebasan, peluang kekerasan seksual semakin terbuka lebar. Manusia bebas berekspresi, membuka aurat, bergaul berbas, sehingga kehidupan sosial didominasi rangsangan nafsu seksual yang memicu terjadinya kekerasan. Selain itu sistem demokrasi – liberal, telah melonggarkan sistem informasi dan media terhadap pornografi dan pornoaksi karena bisa mendatangkan manfaat dan kebahagiaan.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, tidak ada kebebasan mutlak bagi manusia. Kebebasan manusia terbatas pada aturan Allah SWT. Yang dengannya manusia akan teratur dan terpelihara. Sebut saja tentang sistem sosial dalam Islam. Adanya hukum menutup aurat, larangan khalwat dan ikhtilat, akan meminimalkan rangsangan seksual di masyarakat. Apalagi kepedulian masyarakat yang terus beramar ma’ruf nahi mungkar. Sistem informasi dan media juga dikontrol ketat oleh penguasa, yang dengannya konten pornografi dan pornoaksi akan dihilangkan atau paling tidak diminimalkan.

Selain itu, hukum yang diterapkan bersifat tegas. Seorang Qodhi atau hakim hanya sebagai pelaksana hukum bukan sebagai pembuat hukum. Sistem Islam tegak diatas prinsip halal dan haram bukan kemanfaatan seperti dalam sistem demokrasi. Ketika sampai terjadi kekerasan seksual, Islam memiliki sangsi yang tegas, yang mampu memberikan efek jera (zawajir) terhadap pelaku maupun masyarakat secara luas. Selain itu sangsi dalam Islam juga sebagai menebus dosa bagi pelakunya (Jawabir).

Sangsi bagi pelaku kejahatan seksual pemerkosaan sama dengan sangsi pelaku zina yaitu dicambuk atau dijilid sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pezina ghoiru muhshan (belum menikah) dan dirajam yaitu dilempari batu hingga meninggal dunia apabila pelakunya muhshan (sudah menikah). Dan pelaksanaan huluman itu harus disaksikan masyarakat

Terhadap para korban kekerasan seksual, negara akan memberi perlakuan sesuai faktanya, jika mereka benar-benar dipaksa maka mereka akan direhabilitasi dan negara akan mendukung mereka sepenuhnya. Apabila mereka terbukti memberi celah mereka akan dihukum sesuai tingkat kesalahannya.

Wallahu a’lam bi ash-showab.

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis