Indonesia Sejahtera Tanpa Pajak, Mungkinkah?
Oleh : Naning Prasdawati
Komunitas Setajam Pena
LenSa Media News–Kabar baik datang dari Kementerian Keuangan dalam acara peringatan hari pajak Nasional, di GBK, Jakarta, Minggu 14 Juli lalu. Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan (Menkeu) menyampaikan bahwa penerimaan negara setiap masa terus membaik, dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya. (Liputan6.com, 14/07/24).
Namun hal ini tampaknya akan menambah kepahitan hidup rakyat, walaupun di sisi lain pemerintah terus menyampaikan narasi positif tentang peran pajak untuk kesejahteraan rakyat.
Bagaimana tidak, jika kebijakan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 11% pada 2022 lalu saja sudah membuat hidup rakyat makin berat, saat ini justru pemerintah kembali menaikkan PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan 2025 mendatang. Kenaikan ini dilegalkan melalui UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (Unair, 28/03/25).
Menanggapi hal ini Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Sri Herianingrum, SE MSc mengungkapkan dampak kenaikan PPN ini antara lain dapat berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi mikro (Unair, 28/03/25). Dikarenakan tambahan biaya produksi (pajak) ini, maka harga barang juga pasti akan naik untuk menjaga keberlangsungan profit perusahaan. Dampaknya tentu akan dirasakan langsung oleh rakyat. Terutama produk-produk yang merupakan kebutuhan dasar seperti, beras, gula, minyak goreng dan lain-lain
Pajak, “Pemalakan” Versi Legal
Peningkatan penerimaan pajak, hakikatnya merupakan kenaikan pungutan yang berkorelasi pada bertambahnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat. Hal ini lumrah terjadi dalam sistem Kapitalisme, karena pajak merupakan sumber pemasukan utama dan terbesar untuk membiayai operasional negara.
Oleh karena itu, pemerintah selalu berusaha mengaruskan narasi positif tentang pajak untuk menjaga kepatuhan rakyat. Berbagai cara dan legitimasi dicari untuk menambah objek dan tarif pungutan tanpa mempertimbangkan kondisi perekonomian rakyat.
Meskipun demikian pelik kondisinya, rakyat yang benaknya telah dipenuhi racun Kapitalisme, masih menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran. Pasalnya, narasi yang terus didengungkan telah menciptakan opini bahwa tidak ada sumber pemasukan lain bagi negara, selain pajak dan hutang.
Padahal negara bisa saja menambah pos pemasukan dengan cara pengelolaan kekayaan alam, terlebih Indonesia, yang memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Sayangnya, hal ini tidak mungkin bisa dilakukan karena liberalisasi kepemilikian yang lahir dari sistem ekonomi Kapitalisme, telah melegalkan pengelolaan sumber daya alam yang harusnya milik rakyat menjadi milik swasta, baik asing maupun lokal.
Sumber daya alam seperti migas, batubara, hutan, laut, dan lain-lain yang ada di negeri ini, sebagian besarnya telah dikuasi oleh swasta. Sedangkan negara hanya mendapatkan beberapa persen pajak dari industri pengelolaan sumber daya tersebut. Belum lagi kasus-kasus permainan politik oknum-oknum pengusaha untuk meringankan nominal pajaknya.
Pajak hari ini, tak ubahnya seperti upeti di masa silam. Dimana dia merupakan instrumen legal untuk memalak rakyat. Karena faktanya, regulasi yang ada adalah, tajam kepada rakyat, dan tumpul pada kaum pengusaha dan konglomerat. Walhasil, tata kelola pajak yang ada hanya berujung pada kesengsaraan rakyat.
Sejahtera Tanpa Pajak Bukan Kemustahilan
Dalam sistem Islam, ada banyak sumber pemasukan negara yang cukup untuk menyejahterakan rakyat. Tidak bertumpu pada sektor pajak yang justru realitanya menyengsarakan rakyat. Islam menetapkan fungsi negara adalah pelayan dan pengurus rakyat, termasuk mengurus segala hal yang dapat mengantarkan pada terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Ada tiga pos utama pemasukan negara dalam Islam. Pertama, pos kepemilikan umum. Seperti hasil-hasil tambang, hutan, perkebunan dan laut. Kedua, pos kepemilikan negara seperti kharaj, fai’, jizyah dan lain-lain. Ketiga, pos zakat maal yang keistimewaan pendistribusiannya hanya bagi delapan golongan sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. At Taubah : 60.
Ketiga sumber pemasukan rutin ini, harusnya cukup untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab negara. Seperti menyediakan pendidikan murah bahkan gratis, layanan kesehatan berkualitas yang mudah dijangkau masyarakat, infrastruktur yang memadai dan lain-lain. Namun, jika terjadi hal-hal diluar kuasa manusia, seperti bencana alam, wabah penyakit dan lain-lain, yang mengakibatkan kondisi keuangan negara defisit, maka Islam membolehkan diberlakukan pajak.
Akan tetapi, pemberlakuan ini hanya sebatas untuk menutupi kekurangan yang dibutuhkan dan dalam kurun waktu tertentu saja. Itupun hanya dipungut kepada warga negara yang muslim dan kaya. Hingga kondisi keuangan dan pemasukan negara kembali stabil. Maka dengan mekanisme demikian, atas izin Allah, akan terwujud kesejahteraan seluruh umat manusia yang hidup dibawah naungan negara yang menerapkan sistem Islam kafah, yakni Daulah Khilafah. Wallahu Alam Bishawab. [LM/ry].