Fenomena Pakaian Dinas Baru, Rakyat Tersungkur Pilu?
Oleh : Tri Puji Astuti
Lensa Media News – Sekretariat DPRD Sumatera Utara melakukan pengadaan baju dinas baru kepada 100 anggota dewan periode 2019-2024. Telah dianggarkan dalam P-APBD tahun anggaran (TA) 2021. Adapun total nilai anggaran pakaian dinas baru untuk 100 anggota DPRD Sumatera Utara tersebut meraup nilai yang fantastis, yaitu senilai Rp 1,1 miliar. Hal itu tercantum dalam situs LPSE Sumatera Utara, https://lpse.sumutprov.go.id .
Pengadaan baju dinas, baru diajukan setelah para anggota dewan dilantik pada 2019 lalu. Lewat anggaran Rp 1,1 miliar, tiap-tiap anggota maupun unsur pimpinan DPRD Sumatera Utara akan memperoleh tiga pasang pakaian dinas baru. Pakaian dinas harian (PDH), pakaian sipil harian (PSH), dan pakaian sipil resmi (PSR).
Dilansir dari iNewsSumut.id, harga untuk tiap-tiap pasang baju lebih dari Rp 2,8 juta. Bahkan ada yang mencapai Rp 5,9 juta. Secara total nilai pengadaan untuk pengadaan PDH yakni senilai Rp 286 juta, PSH Rp 590,2 juta dan PSR Rp 295, 1 juta.
Pasalnya bahan yang digunakan untuk pembuatan pakaian dinas baru DPRD ini merupakan bahan ternama dengan harga yang fantastis, yakni Louis Vuitton. Pengadaan pakaian dinas tahun ini merupakan realisasi dari dua tahun sebelumnya. Sejak tahun 2019, anggota dewan merasa tidak pernah mendapat fasilitas pakaian dinas karena anggaran selalu dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Dikutip dari Kumparan.com, menurut Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Sulawesi Selatan, Muh Jabir, bahwa pengadaan pakaian dinas tahun ini juga membantu masyarakat yang terdampak pandemi. Khususnya bagi pelaku usaha jahit. Dengan pengadaan baju ini perekonomian akan berjalan. “Karena masih pandemi, kita perhatikan komunitas penjahit. Paket dia ditunggu pemerintah. Bagaimana bisa jalan usahanya kalau tidak terima jahitan. Yang salah itu, kalau uangnya hanya dipakai oleh anggota dewan,” begitu katanya.
Lembaga Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menyoroti anggaran baju dinas bagi anggota DPRD hampir Rp 1 miliar di tengah pandemi, disebut tidak peka dengan kondisi masyarakat. Penggunaan baju dinas baru dengan bahan super mahal bagi anggota dewan tidak akan menjamin peningkatan kinerja DPRD.
Dilansir dari Tribunnews.com, Pengamat Kebijakan Publik dan Anggaran, Siska Barimbing, menyebut DPRD Sumatera Utara kehilangan sense of crisis. “Pimpinan dan Anggota DPRD harus mempunyai sense of crisis, peka terhadap penderitaan rakyat Sumut saat ini,” kata Siska.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Sudah jelas rakyat menentang keras dengan pengadaan baju dinas yang menelan nilai yang fantastis, apalagi di tengah kondisi saat ini. Kondisi dimana ekonomi warga sebagai pembayar pajak sedang sulit dan krisis akibat terdampak pandemi Covid-19. Hal ini justru menjadikan rakyat tersungkur pilu bahkan semakin terhimpit akan kondisi pandemi ini.
“Rakyat sedang susah, krisis uang, PPKM tidak boleh bekerja dan berdagang. Perwakilan rakyat daerah kok malah nempah baju super mahal seperti itu, sebegitu pentingnya baju mereka? Sebenarnya kan kerja mereka mewakili rakyat,” kata Mestun, warga Kota Medan, Kamis (9/92021).
“Kenapa terlalu memaksa menuntut hak? Kerja saja tidak nyata, kewajiban sama rakyat saja acuh tak acuh. Seharusnya hak kami sebagai rakyat yang menjadi kepentingan para dewan itu,” ucap Agus, warga Kota Medan.
Karena sesungguhnya, DPRD merupakan perwakilan rakyat dalam menyampaikan aspirasi, fokus terhadap permasalahan umat, dan rakyat merupakan kepentingan di atas semua kepentingan. Anggaran belanja pakaian dinas dengan nilai yang fantastis itu bukan hanya di Sumatera Utara saja, tapi hampir di seluruh daerah Indonesia. Bayangkan, berapa anggaran habis hanya untuk pakaian baru itu?
Bukankah saat ini Indonesia sedang krisis kondisi? Tidak hanya ekonomi, tapi hampir segala aspek Indonesia mengalami krisis. Dengan mempertimbangkan prinsip efisiensi, efektifitas dan kepatutan maka sebaiknya hentikan proses pengadaan pakaian dinas pimpinan dan anggota DPRD.
Ini jelas tidak memberikan solusi alias sia-sia. Dalam Islam, kepentingan umat merupakan tanggung jawab negara. Khalifah tidak akan membiarkan umat kesusahan, kelaparan, apalagi mengambil keputusan yang mencekik umat. Lihat bagaimana dulu kepemimpinan Umar bin Khattab, saat ia tak mau menggunakan listrik kepunyaan negara untuk kepentingan pribadi.
Saat peradaban Islam tegak, seorang pemimpin tidak akan pernah memiliki kekayaan yang melimpah. Karena mereka tidak sempat berpikir tentang masalah pribadinya, sedangkan permasalahan umat begitu banyak. Para pemimpin akan merasa sangat berdosa ketika memakan makanan yang sangat lezat dan mewah, sedangkan umatnya diluar sana sulit untuk mendapatkan makanan. Pemimpin mempunyai tanggung jawab penuh atas apa yang dipimpinnya. Karena Allah akan menghisab segala keputusan yang dibuatnya.
Wallahu’alam bishowab.
[faz/LM]