Rakyat Butuh Kerja Nyata Bukan Sekadar Nama
Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh. Namun, para bakal kandidat sudah mulai ancang-ancang sejak sekarang. Sejumlah baliho mulai terlihat di pinggir-pinggir jalan seperti baliho Ketua PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR Puan Maharani, baliho Ketua Umum Golkar yang juga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (Pikiran Rakyat, 10/08/2021).
Tak ayal, fenomena baliho para elit itu menjadi bulan-bulanan warga. Pasalnya, publik menilai para tokoh politik yang wajahnya terpampang di sana tidak memiliki empati karena saat ini negara tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Alih-alih meraih simpati, kampanye dini tersebut menuai antipati.
Jika dicermati, elite politik yang hanya memikirkan kontestasi dan popularitas tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan mereka memilah isu prioritas mana yang harus didahulukan, tapi juga memperlihatkan ketidakpekaan terhadap persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Ketika masyarakat masih berkutat dengan ancaman dan dampak Covid-19, yang di tunjukkan sejumlah elite politik adalah perilaku yang sama sekali tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Alih-alih melibatkan diri secara aktif dalam penanganan dampak Covid-19, memasyarakatkan dukungan atau motivasi agar masyarakat tidak patah arang, mereka malah menancapkan baliho di berbagai sudut kota berisi promosi diri untuk mendongkrak popularitas.
Ya, dalam politik demokrasi memang identik dengan persaingan. Seolah-olah politik adalah soal menang kalah. Dan kekuasaan adalah tujuan tertinggi perjuangan. Politik bahkan, hanya didefinisikan sebagai cara meraih kursi kekuasaan. Pun, kursi kekuasaan adalah puncak kebanggaan sekaligus sarana meraih materi keduniawian.
Saatnya rakyat mengganti sistem politik yang tak memisahkan agama dan politik. Sehingga melahirkan para elit yang senantiasa melayani masyarakat berdasarkan standar halal haram. Bukan, perang pencitraan demi mendulang simpati rakyat. Wallahu a’lam bisshowwab.
Teti Ummu Alif
(Kendari, Sulawesi Tenggara)
[LM/Faz]