Butuh Mentalitas Waras di Tengah Wabah yang Kian Parah

Oleh: Sherly Agustina, M.Ag.

 

Lensa Media News – Optimis dalam menghadapi musibah sekaligus berucap kata-kata yang baik haruslah tetap diterapkan sebagaimana yang tercantum dari hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.: “Tidaklah penyakit menular tanpa izin Allah dan tidak ada pengaruh dikarenakan seekor burung, tetapi yang mengagumkanku ialah al-fa’lu (optimisme), yaitu kalimah hasanah atau kalimat thayyibah (kata-kata yang baik)” (HR. Bukhari Muslim).

Untuk meningkatkan imunitas atau kekebalan tubuh di tengah meningkatnya angka kasus covid-19, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno meminta para komedian dalam negeri berkolaborasi menghibur masyarakat. Hal tersebut disampaikan saat bertemu Persatuan Seniman Komedi Indonesia atau Paski (tempo.co, 14/7/21).

Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menyoroti sejumlah menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo yang masih melakukan perjalanan ke luar negeri di tengah PPKM Darurat. Tauhid mengatakan perilaku para menteri ini belum menunjukkan adanya sense of crisis (tempo.co, 18/7/21).

Diketahui sebelumnya, tiga menteri melakukan kunjungan ke luar negeri selama PPKM Darurat. Mereka yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.

 

Sikap Pemimpin di Tengah Wabah dalam Kapitalisme

Semua tahu bahwa negeri ini sedang dilanda musibah silih berganti, diantaranya gempa, banjir, dan wabah yang sampai saat ini belum berakhir. Sebagai muslim, sikap yang harus dilakukan ketika ditimpa musibah adalah muhasabah, banyak berdoa dan terus mendekatkan diri kepada Allah. Bukan hanya sekadar hiburan walau mungkin ada efek positif.

Apalagi sebagai seorang penguasa, haruslah memberikan contoh yang baik dan energi positif kepada rakyat. Suasana keimanan semestinya lebih besar ketika ditimpa musibah, sehingga pertolongan Allah semakin dekat. Namun, dalam sistem sekularisme nyatanya yang diwujudkan oleh para penguasa adalah suasana hiburan an sich, dengan dalih hiburan bisa membawa energi positif kebahagiaan sehingga tidak stres ketika dilanda musibah.

Maka wajar, jika kita melihat para pejabat tinggi negeri yang mendorong rakyat untuk mendapat hiburan. Bukan mendorong rakyat agar lebih memperkuat iman dan tawakkal serta banyak berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah. Beginilah sekularisme memisahkan agama dari kehidupan dan negara.

Selain itu, sebagai penguasa dan pejabat tinggi harusnya memiliki empati pada rakyat terlebih saat pandemi. Bukan santai-santai menonton sinetron dan tontonan lain yang tidak berefek pada meningkatkan ruh keimanan dan empati pada rakyat. Bagaimanapun, rakyat adalah orang yang paling terkena dampak pandemi.

Pejabat selama ini tak pernah ada pemotongan gaji, setiap bulan jelas mendapat gaji dan tunjangan walau kondisi pandemi. Sementara rakyat terutama rakyat kecil, untuk sekadar makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka sulit. Apalagi bagi yang merantau, ketika mereka terpapar dan isoman belum tahu siapa yang akan peduli. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, warga isoman kurang perhatian dari pemerintah hingga meninggal.

Menurut analis data lapor covid-19, Said Fariz Hibban, sebanyak 2.313 pasien covid-19 di tanah air meninggal saat melakukan isolasi mandiri. Dari DKI Jakarta berjumlah 1.214, sebanyak 403 di antara mereka berdomisili di wilayah Jakarta Timur (voaindonesia.com, 23/7/21).

 

Teladan Khalifah Umar saat Ditimpa Musibah

Miris. Saat rakyat meringis bahkan nyawa melayang tapi pejabat ada yang santai nonton sinetron dan mengusulkan hiburan para pelawak. Sikap yang tak tepat, karena yang rakyat butuhkan ketika pandemi bukan sekadar hiburan, melainkan bukti nyata kepedulian pemerintah terhadap rakyat.

Siapa yang tak kenal Umar bin Khathab? Beliau seorang khalifah yang tegas dan lemah lembut. Tegas pada siapa saja yang melanggar hukum syara‘ dan lemah lembut terhadap orang yang membutuhkan. Diceritakan dalam sejarah, Umar mencari kambing yang hilang sampai ketemu. Pada hewan saja demikian, apalagi pada manusia, tentu lebih sayang dan bertanggung jawab.

Saat tidak ada wabah, ketika Umar keliling kampung ada anak dari warganya yang kelaparan seketika Umar langsung memanggul gandum dari gudang negara. Apalagi ketika ada wabah dan musim paceklik, Umar sangat mengutamakan rakyatnya.

Dikisahkan bahwa Umar bin al-Khaththab, pada masa paceklik dan kelaparan hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik berlalu. Umar ra. berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” Beginilah mentalitas waras yang harus dimiliki seorang pemimpin, apalagi di tengah wabah yang kian parah.

Wallahua’lambishawwab.

 

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis