Saatnya Kelola SDA dengan Syariat Islam

Oleh: Agu Dian Sofiyani

 

Lensa Media News – Lagi dan lagi rakyat Indonesia hanya bisa gigit jari, sumber daya alam melimpah yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada negeri ini tak bisa dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Faisal Basri, seorang ekonom senior dari UI, Indonesia hanya menikmati keuntungan nilai tambah sebesar 10 persen dari industri bijih nikel di Morowali dan Konawe. Sedangkan sisanya sebesar 90 persen menjadi keuntungan bagi investor Cina yang membangun smelter di kawasan industri tersebut. Indonesia hanya dijadikan ekstensi untuk dukung industrialisasi Cina (tempo.co,29 Juli 2021).

Menurut Faisal, perusahaan-perusahaan smelter itu hanya mengolah sebagian besar bijih nikel pig iron (NPI) dengan produk akhir maksimal 20-25 persen. Dengan fasilitas yang ada, seperti tax holiday dan keringanan pajak ekspor, investor Cina dapat membeli olahan nikel setengah jadi ini dengan harga seperempat atau sepertiga lebih murah dari harga internasional. “Makanya mereka berbondong-bondong datang. Kalau pabrik tetap di Cina, mereka beli dengan harga US$ 100 per ton atau kilogram, kalau pindah ke Indonesia bisa dapat US$ 25-35 saja,” ujar Faisal.

Sesampainya di Cina, nikel setengah jadi akan diolah lebih lanjut menjadi produk sendok, garpu, pisau atau lembaran baja yang tahan karat dengan kualitas tinggi. Setelah menjadi produk-produk tersebut, Indonesia kembali mengimpornya dari Cina.

Mengapa Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia bisa dengan mudahnya dikeruk oleh perusahaan negara lain dan keuntungannya mereka boyong ke negeri mereka, sedangkan rakyat Indonesia yang notabene sebagai pemilik sah SDA tersebut hanya kebagian receh yang tidak seberapa? Pertanyaan ini pasti sangat menggelitik siapapun yang menelaah fakta ini.

 

Kesalahan Tata Kelola

Apa sebenarnya akar masalah yang menjadi penghalang rakyat menikmati sumber daya alam yang dimilikinya? Ternyata semua keruwetan ini bermuara pada tata kelola yang diterapkan negara saat ini. Tata kelola SDA negara kita berpijak pada aturan kapitalisme sekular yang menjauhkan agama dengan kehidupan. Kebebasan menjadi pilar utama sistem ini, termasuk kebebasan untuk memiliki apapun.

Akibatnya SDA yang sejatinya milik rakyat bisa dimiliki oleh siapapun. Dan pastinya orang yang memiliki modal sangat besar yang bisa menguasai SDA tersebut dan keuntungannya akan dikantongi secara pribadi. Inilah realita yang terjadi di hampir semua SDA kita saat ini, termasuk apa yang terjadi dengan bijih nikel yang ada di Konawe dan Morowali.

Apalagi setelah UU Omnibus Law disahkan oleh Pemerintah, para pemilik modal terutama para kapitalis asing, semakin mudah masuk ke Indonesia dan dengan mudah pula menguasai SDA nya.

Inilah fakta rusak akibat penerapan aturan yang menyingkirkan agama dengan kehidupan. Akhirnya aturan dibuat oleh manusia. Karena manusia itu memiliki sifat lemah, tak heran aturan yang dihasilkannya pun sama lemahnya. Aturan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang saja. Tidak memberikan keadilan kepada semua masyarakat. Akibatnya penderitaan dan ketidakbahagiaan terus dirasakan oleh masyarakat.

Padahal kalau saja kita kembali kepada aturan Islam, kita akan melihat kemuliaan dan keadilan Islam dalam mengatur kehidupan masyarakat termasuk pengaturan tentang sumber daya alam. Dalam pandangan Islam sumber daya alam yang melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki oleh individu. Dalilnya adalah, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam hadits lain disebutkan ,”Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal)”. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Dari dalil-dalil di atas sangat jelas bahwa SDA yang melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum. Sehingga pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara dan hasilnya diperuntukkan bagi seluruh rakyat.

Hanya saja pengaturan Islam terhadap SDA tidak akan bisa diterapkan kalau agama dijauhkan dalam kehidupan negara. Maka sudah saatnya umat Islam kembali mewujudkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara. Jangan sampai kita seperti sebuah pepatah yang menyatakan “ayam mati di lumbung padi”.

Wallahu a’ lam bish showab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis