Pajak Meroket, Rakyat Melarat

Oleh: Misalina

 

Lensa Media News – Selama pendemi ini, masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri ini semakin menjadi-jadi. Belum selesai masalah yang satunya, tumbuh masalah yang selanjutnya. Sehingga, membuat rakyat semakin menjerit dan menderita. Apalagi saat ini pemerintah mengeluarkan kebijakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berharap ada solusi untuk keterpurukan ekonomi negara ini, namun yang menjadi tumbalnya adalah rakyat sendiri. Sungguh pahit keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menyengsarakan rakyat.

Kementerian Keuangan membuka suara mengenai perihal polemik tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakkan (KUP). Rahayu mengatakan, bahwa pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pendemi Covid-19. Oleh sebab itu, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (CnnIndonesia.com,12/06/2021).

Di sisi lain, ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan untuk membatalkan rencana mengenai pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang di dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu (Antaranews.com,13/06/2021).

Apakah kebijakan ini akan membantu memulihkan ekonomi saat ini? Perpajakan dalam sistem kapitalisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Kemudian, pajak dalam sistem kapitalisme diterapkan pada perorangan, badan usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa, sehingga masyarakat dibebankan pajak secara berganda. Dengan demikian, pajak menyebabkan harga barang dan jasa menjadi naik atau meroket.

Dengan menaikkan pajak akan membebani rakyat, tetapi menutupi defisit anggaran negara. Namun sebaliknya, jika menurunkan tarif pajak, akan mengurangi beban rakyat, tetapi negara mengalami defisit keuangan. Ibarat pepatah, maju kena mundur kena. Sehingga, langkah logis yang diambil oleh sistem kapitalisme adalah dengan berutang.

Sehingga pajak dalam sistem kapitalisme dibebani kepada seluruh rakyat. Wajar jika rakyat menjadi melarat. Tampak jelas, bahwasanya kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah tidak benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Namun, bagaimana dengan rakyat yang tidak memiliki apa-apa? Bisa jadi, rakyat semakin sengsara.

Padahal, jika kita saksikan negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Jika dikelola dengan baik, maka bisa terpenuhi kebutuhan rakyat. Sebab, merupakan kepemilikan umum. Namun nyatanya, negeri ini sudah salah dalam mengelola sumber daya alam dan diserahkan kepada asing untuk mengelolanya. Akhirnya, kehidupan rakyat menjadi terancam.

 

Perpajakan dalam Sistem Islam

Benar, bahwa dalam Islam dikenal adanya pajak. Dalam Islam, pajak dikenal dengan dharibah. Namun, penerapannya berbeda dalam sistem kapitalis saat ini. Al-’Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikan dharibah yaitu “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal kaum muslim untuk membiayainya” [Al-Amwal fi Daulati Al-Khilafah, hal.129].

Dalam sistem Islam, sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitul mal yaitu _fai’ (Anfal, Ghanimah, Khumus), Jizyah, Kharaj, ‘Usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.

Pajak merupakan jalan terakhir yang diambil apabila baitul mal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Jadi, dalam kondisi seperti ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim. Tetapi, tidak semua kaum muslim wajib pajak, apalagi non muslim. Jadi, pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitul mal dalam memenuhi kewajibannya. Apabila kebutuhan baitul mal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus dihentikan.

Jadi, sudah saatnya negara ini menggantikan sistem demokrasi menjadi sistem Islam. Sebab, Islam mampu menyelesaikan semua problematika kehidupan yang terjadi saat ini. Hanya khilafah-lah yang mampu untuk menerapkan sistem Islam. Sebab khilafah adalah penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Wallahu a’lam.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis