Pembengkakan Utang Negara, Buah Sistem Ekonomi Kapitalis

Oleh: Sri Hasniah Ashara

 

Lensa Media News – Saat ini menjadikan utang sebagai solusi dari keuangan adalah hal lumrah yang dilakukan mayoritas masyarakat, tak pelak hal inipun berlaku pada negara. Berdalih demi kehidupan layak dan agar pembangunan negeri dapat terus dilanjutkan, bahkan dengan menggunakan uang dari utang ribawi tak jadi masalah. Mengurus negara tak akan sempurna jika tak membuka diri. Membentangkan tangan untuk utang riba berkali-kali, hingga utang negara tak terbendung lagi.

Semua berawal dari krisis ekonomi yang melanda negeri di tahun 1998. Kondisi saat itu membuat pemegang kebijakan memilih menerima uluran tangan IMF untuk membangkitkan ekonomi negeri. Bersamaan dengan pinjaman dari lembaga keuangan dunia, negeri ini harus menelan pil pahit kesepakatan. Setelah itu, negeri Zamrud Khatulistiwa ini tak lagi terbebas dari utang. Setiap tahun harus membayar pokok sekaligus bunganya (Muslimah News, 11/06/21).

Utang pemerintah pusat membengkak. Periode April 2021 meroket menjadi Rp 6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 6.445,07 triliun (finance detik.com (11/06/21)).

Utang negara yang terus membengkak dengan diawali memilih menerima uluran tangan IMF untuk membangkitkan ekonomi negeri menjadi boomerang tersendiri. Lembaga keuangan dunia seperti World Bank, IMF, maupun yang lain. Mereka memberikan pinjaman demi meraih untung. Pinjaman ini juga digunakan sebagai sarana untuk menjerat suatu bangsa agar jauh dari kemandiriannya. Semua ini adalah ulah kapitalisme, sistem ekonominya merupakan aturan keuangan berbasis riba dan keuangan nonriil. Semua bisa dilakukan demi keuntungan. Jika ada yang memberikan pertolongan, pasti akan meminta bayaran. Tidak ada istilah makan siang gratis.

Pembengkakan utang negara memberi kekhawatiran bagi masyarakat, banyak pengamat yang mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap utang negara yang semakin hari semakin memperihatikan. Salah satunya diungkapkan oleh Didik J Rachbini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa utang badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun. “Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” katanya dikutip melalui keterangan pers, Kamis (3/6/2021)(Gelora.com, 11/06/21).

Selama ini pembangunan menjadi dalih terkuat untuk berutang, namun perlu kita ketahui bahwa pembangunan berbasis utang bukanlah sesuatu yang patut dibenarkan. Bahkan selama ini banyak infrastruktur-infrastruktur yang dibangun justru jauh lebih memberi keuntungan kepada pihak korporasi dan segelintir orang saja bukan kepada masyarakat semata.

Hakikatnya membangun tanpa utang dan pajak adalah sebuah keniscayaan. Asalkan kepemilikan umum dikelola secara mandiri oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Pembangunan yang dilakukan penguasa juga harus dilakukan berdasarkan skala prioritas sesuai hukum syariat. Pada perkara yang terkategori kebutuhan primer, maka harus diprioritaskan. Sedangkan pada kebutuhan sekunder dan tersier, dilakukan jika ada dana yang tersedia. Penguasa tidak boleh terjebak pada proyek prestisius namun minim manfaat. Apalagi jika ternyata proyek tersebut hanya menguntungkan korporasi saja. Atau bahkan dijadikan bancakan kolega dan keluarga saja (Muslimah News (11/06/21)).

Hendaklah para penguasa menghayati hadist Rasulullah Saw. berikut,
“Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim)

Islam mengelola harta menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, negara dan umum. Khusus kekayaan individu diserahkan rakyat masing-masing. Sedangkan kekayaan negara dan umum akan dikelola negara, termasuk harta dari zakat yang dipergunakan untuk 8 ashnaf.

Pendapatan negara melimpah diperoleh dari kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, hingga pengelolaan SDA. Sehingga, kas negara aman bahkan surplus. Negara tak perlu utang sana sini lagi. Terbukti kegemilangan sejarah peradaban Islam, kemakmuran terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satunya.

Islam telah menyediakan solusi bagi setiap permasalahan, kita tahu bahwa Islam tak hanya mengurusi urusan ibadah namun juga kehidupan individu, sosial, hingga negara. Solusi ekonomi islam tanpa terjerat utang apalagi riba, yang sudah pasti menyejahterakan rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah, masikah kita mempertahankan sistem keungan saat ini? [LM/El]

Please follow and like us:

Tentang Penulis