Katanya Ekonomi Naik, Kok Pajak Makin Mencekik?
Oleh: ShofiHeni
(Aktivis Muslimah)
Lensa Media News – Pemerintah berencana untuk memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kelompok barang tertentu, termasuk produk sembako dan jasa pendidikan. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft RUU No 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) (CNBC Indonesia, 9 Juni 2021).
Walaupun ini hanya sebatas wacana, tapi meresahkan masyarakat. Jelas kebijakan ini bertentangan dengan Pancasila sila ke-5. Di samping itu, pengenaan pajak PPN otomatis membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam. Katanya ekonomi naik dengan istilah “meroket”? Mengapa faktanya masyarakat makin dipalak?
Belum selesai masyarakat menghadapi pandemi. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja besar pasak dari pada pendapatan. Jelas dengan minimnya pendapatan, maka masyarakat akan berusaha mengalokasi pengeluaran yang diprioritaskan. Di sisi lain, membuat kita mengelus dada karena ada pengurangan pajak untuk barang-barang mewah. Alasannya, untuk menaikkan konsumsinya terhadap barang mewah. Sungguh sangat ironis.
Wajar hal ini terjadi dalam sistem kapitalisme neoliberal. Pajak menjadi andalan utama pemasukan negara. Pajak dianggap mampu membantu kestabilan negara, karena mampu menyesuaikan pendapatan yang diterima dari pajak. Pajak digunakan menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi hutang negara yang membengkak, wajar jika masyarakat jadi korban.
Seharusnya negara me-riayah (mengurus) mereka, padahal kekayaan negeri ini begitu melimpah, yang mampu mencukupi kebutuhan negara. Sayangnya, kapitalismelah yang membuat kekayaan negeri ini ditangani korporat. Oleh karena itu, sepanjang sistem kapitalisme ini diterapkan, maka tidak akan mampu mendapatkan keberkahan dan kesejahteraan. Yang terjadi negara kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus rakyat.
Islam hadir untuk menyelesaikan persoalan yang menjadi polemik dengan sebuah sistem bernama Khilafah. Dalam sistem Khilafah, tidak diperkenankan bahkan diharamkan memungut pajak secara rutin dan terstruktur. Tetapi, pajak ditarik hanya sebagai pendapatan insidental dan pada kondisi tertentu. Yaitu ketika Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi.
Sementara ada pembiayaan yang wajib dilakukan dan akan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim. Inilah dasar kebijakan pajak dalam daulah Khilafah. Allah Swt. telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri.” (HR.Ibnu Majah dan Ahmad)
Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber utama pendanaan negara. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, pajak hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat untuk memenuhi kepentingan masyarakat. sehingga, dalam sistem Khilafah tidak perlu membebani masyarakat dengan pajak. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [LM/Ry]