Asa Rakyat akan Perubahan

Oleh: Silvia Anggraeni, S. Pd.

 

Lensa Media News – Slogan ‘Piye kabare le? Penak jamanku, to?’ yang kembali marak beberapa tahun terakhir tak cuma disuarakan oleh para loyalis Presiden kedua RI Soeharto. Slogan itu dinilai juga populer karena ada kekecewaan sebagian rakyat terhadap reformasi. (Cnn Indonesia, 08/06/2021).

Perubahan yang diharapkan memang masih jauh panggang dari api, pergantian wajah kepemimpinan nyatanya hanya sekadar perubahan kemasan saja. Akhirnya rakyat harus kembali kecewa.

Setelah orde baru ditumbangkan oleh reformasi, besar harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Namun asa tinggal asa, nyatanya semua hanya mimpi semata.

Apapun eranya, selama dalan naungan demokrasi kapitalisme maka semua akan sama saja. Kepentingan demi keuntungan para penguasa akan selalu ada di atas kebutuhan rakyatnya.

Rakyat ibarat anak tangga yang dipijak demi menggapai tahta. Yang ditinggalkan begitu saja setelah semua tujuan telah terlaksana. Maka berjuta kali pun berganti era dan presiden jika tetap menggunakan demokrasi hasilnya rakyat akan tetap gigit jari.

Perubahan hakiki hanya dapat dicapai dengan perubahan yang menyeluruh dan fundamental. Yaitu dengan mengganti demokrasi dengan sistem Islam. Sistem Islam yang telah terbukti mengayomi rakyat hingga kesejahteraan mudah didapat.

Sistem Islam ini hanya ada dalam bingkai Khilafah Islamiyah yang telah menggaungkan kejayaan Islam hingga ke penjuru dunia. Di bawah naungannya pula rakyat hidup aman dan sejahtera.

Sebut saja kisah yang masyhur di era kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz, Khalifah dari Dinasti Umayyah. Kala itu beliau mengutus seorang pengumpul zakat untuk memungut zakat ke Afrika, dan memberikannya kepada orang miskin. Namun, Yahya bin Said yang bertugas saat itu tidak menemukan seorang pun yang berhak menerima zakat. Pada era itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan, hingga semua rakyat hidup berkecukupan. Kemakmuran umat merata di seluruh penjuru kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Sistem yang disebut imamah atau khilafah ini lahir dari hukum syara’ bukan dari manusia. Kedudukannya jelas lebih kuat, karena Sang Pencipta manusia yang menetapkannya. Ini yang membedakan dengan demokrasi. Dalam Islam pemimpin memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai raa’in dan junnah bagi umat. Meski mengalami pasang surut selama 14 abad masa kegemilangan Islam, tapi kedua fungsi ini dijalankan sesuai dengan apa yang diatur syara’, hingga terbukti mampu membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.

Masihkah ada asa yang tergantung pada demokrasi? Setelah semua kepedihan yang diciptakannya. Saatnya kembali pada aturan Islam yang akan menghapus semua lara yang ada. Dan membawa pada perubahan yang nyata.

Wallahu a’lam bisshowab.

[ra/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis