Syariat Islam Memandang Miras
Oleh : Nurul Latifah
Lensa Media News – Setelah menuai kontroversi di tengah masyarakat, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa, 2 Maret 2021 lalu, mencabut lampiran Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Perpres ini mengatur pembukaan investasi baru industri miras yang mengandung alkohol (Detik.com, 2/3/2021). Namun, dicabutnya lampiran Perpres ini tidak menjadikan berhentinya perdagangan dan perindustrian miras sebab hanya investasi (industri) baru saja yang tidak ada, sedangkan industri miras yang sudah ada tetap berjalan sesuai Perpres 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Selain itu, Industri dan perdagangan miras diklaim memberikan manfaat secara ekonomi, yakni berupa pendapatan negara. Pada 2020, penerimaan cukai dari Etil Alkohol sebesar Rp 240 miliar dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) Rp 5,76 Triliun (Cnnindonesia.com, 02/03/2021).
Inilah faktanya dalam sistem kapitalisme, produksi, konsumsi, dan distribusi barang atau jasa akan terus dilakukan selagi ada nilai guna (utility value). Suatu barang dianggap memiliki nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya tanpa menimbang mudaratnya. Akibatnya, miras, narkoba, dan prostitusi tidak bisa ditutup, karena masih ada nilai guna yaitu ada yang menginginkan. Inilah salah satu pandangan yang rusak dalam kapitalisme.
Hal ini berbeda dengan Islam, yang mana semua materi benda dan perbuatan disejalankan dengan ruh, yakni kesadaran bahwa semua ada hubungan dengan Allah. Maka, akan menghasilkan cara pandang dan asas yang berbeda. Dalam Islam bukan sebatas nilai guna semata, namun harus memenuhi syarat, diantaranya harus halal. Barang haram walaupun ada yang menginginkan, tetap tidak boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan.
Maka syariat Islam memandang bahwa perindustrian dan perdagangan miras adalah haram, bahkan Allah dan Rasulullah melaknat para pelakunya. Rasulullah bersabda, “ Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR Ahmad).
Kemudian dari Anas bin Malik, ia berkata, “ Rasulullah saw. melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta diantarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” (HR Tirmidzi).
Jika dalam kapitalisme mengatakan investasi ini menguntungkan, maka tidak dalam Islam. Islam konsisten saat mengatakan khamr adalah induk kejahatan. ” Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya” (HR ath-Thabarani).
Islam dengan tegas mengharamkan segala macam miras. Allah SWT berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah 5: 90).
Hanya dengan menerapkan dan melaksanakan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai institusi negara, kita akan di jauhkan dari bahaya khamr dan barang lainnya yang dapat merusak otak manusia juga haram di mata Allah SWT.
Wallahu’alam.
[ry/LM]