Mendamba Negeri Bebas Miras
Beberapa waktu lalu, masyarakat dari berbagai kalangan menyuarakan penolakannya terhadap dibukanya izin investasi miras yang ditandai dengan disahkannya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Karena derasnya suara penolakan, Presiden Jokowi pun mencabut lampiran regulasi yang berisi tentang izin investasi miras tersebut.
Menilik respon masyarakat yang menolak izin investasi miras tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat menyadari kerusakan yang diakibatkan oleh miras. Masyarakat menginginkan kehidupan yang baik bebas dari miras.
Sayangnya, pencabutan lampiran regulasi investasi miras tersebut tidak menjadikan hilangnya miras dari pasaran. Sebab pencabutan lampiran regulasi tersebut tidak diikuti juga dengan penghapusan regulasi lain yang terkait izin produksi, distribusi dan konsumsi miras. Sehingga miras pun masih bisa dijangkau oleh masyarakat.
Mendamba negeri bebas miras adalah hal utopis selama sekularisme-liberalisme masih dijadikan dasar aturan kehidupan. Karena standar sekularisme-liberalisme adalah materialisme yakni memandang segala sesuatu dari segi manfaat. Akhirnya, miras dipandang sebagai barang ekonomi yang memberi manfaat dan menguntungkan. Tapi mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat. Padahal terbukti adanya miras menyumbang timbulnya kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan Islam yang menghukumi bahwa miras adalah barang haram sehingga dianggap tidak memiliki nilai guna. Haramnya miras dalam Islam tak sekedar mengonsumsinya saja. Tetapi juga segala aktivitas yang berkaitan dengan miras juga dilarang. Maka dalam sistem Islam produksi miras dan distribusinya di tengah-tengah masyarakat juga akan dilarang. Kecuali bagi non muslim yang menganggap boleh dalam agamanya mengonsumsi miras. Sistem Islam akan mengatur agar konsumsi miras dan transaksinya hanya ada di pemukiman non muslim saja. Demikianlah sistem Islam memiliki seperangkat aturan untuk menjaga masyarakat.
Oleh Deny Setyoko Wati, di Yogyakarta