Logika Terbalik dalam Memandang Miras
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Kontroversi terkait investasi miras berujung pada penarikan lampiran Perpres. Pada Selasa, 2 Maret 2021, Presiden Joko Widodo Mencabut lampiran Perpres 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
“Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi dalam siaran pers virtual (Detik.com, 2/3/2021).
Pencabutan Perpres ini dilandasi oleh banyaknya penolakan. Namun, apa jadinya jika tidak ada yang gencar menolak? Tentu investasi di bidang miras ini akan terus dilakukan dengan dalih menambah pundi pemasukan. Tanpa melihat dampak buruk apa yang akan diterima oleh masyarakat dan bagaimana pandangan syariat Islam terhadap persoalan ini.
Padahal di saat negara kelimpungan mencari dana untuk menambah pemasukan dengan menghalalkan berbagai cara. SDA yang melimpah justru diserahkan pada swasta. Apabila melihat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), pelaksanaannya jelas tak sejalan. Amanat dalam pasal tersebut memaparkan bahwa SDA seharusnya dipergunakan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada faktanya SDA justru dikuasai oleh segelintir orang termasuk di dalamnya orang-orang asing. Adapun syariat Islam jelas mengharamkan adanya privatisasi SDA. Pengelolaan SDA hanya boleh dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk mengurusi keperluan masyarakat.
Namun, apabila sistem kapitalis sekuler yang diterapkan, logika tidak berjalan sebagaimana mestinya. Halal bisa dianggap haram begitu pula haram bisa dianggap halal. Asalkan menguntungkan itulah yang akan dianggap baik. Selanjutnya akan difasilitasi agar semakin menambah manfaat yang bisa diperoleh.
Begitulah jadinya, jika hukum yang berlaku berlandaskan pada akal manusia. Standar baik dan buruk tidak memiliki patokan yang jelas. Justru patokan tersebut lebih mengarah pada kehendak pemilik modal. Sudah bukan rahasia lagi jika manusia memiliki hasrat untuk berkuasa dan memanfaatkan apapun untuk mewujudkannya. Inilah gambaran manusia yang berlepas dari ikatan aturan yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, perlu adanya aturan yang mampu mengontrol perbuatan manusia. Aturan tersebut harus berasal dari Allah Swt selaku pencipta manusia. Karena aturan tersebut tidak akan memihak kepada siapapun. Serta tidak akan ada unsur kepentingan di dalamnya.
Penentuan standar baik dan buruk juga sangat jelas, yaitu hanya disandarkan pada syariat Islam. Apabila syariat Islam mengharamkan, maka jelas perbuatan tersebut bernilai buruk. Namun, apabila perbuatan tersebut sesuai dengan syariat Islam, maka akan bernilai baik.
Seperti halnya miras yang tengah menjadi perbincangan hangat. Syariat telah jelas memberikan kategori haram pada minuman tersebut. Bahkan melaknat sepuluh golongan yang ikut dalam perbuatan tersebut.
Dari Anas bin Malik, ia berkata, ” Rasulullah SAW Melaknat tentang khamr sepuluh golongan: yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang meminumnya, yang mengantarkannya, yang minta diantarkannya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya.” (HR. Tirmidzi juz 2, hal. 380, no. 1313)
Maka tidak sepatutnya ketika Allah telah mengharamkan kemudian manusia masih menawarnya. Sudah semestinya manusia hanya tunduk kepada kehendak Allah semata. Serta menyandarkan segala aktivitas dengan syariat yang telah ditetapkan sebagai konsekuensi atas keimanan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
” Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. al-Ma’idah: 50).
Wallahu a’lam bish showab.
[ry/LM]