Risalah Akhir Tahun 2020, Jaminan Khilafah Jika Diterapkan

Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban) 

 

Lensa Media News – Menurut The Economist, demokrasi di Indonesia termasuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi cacat), belum kategori full democracy. Sebab walau telah dapat menyelenggarakan pemilu bebas, tetapi saat yang sama mengandung “cacat”. Cacatnya demokrasi Indonesia disebabkan kelemahan tata kelola pemerintahan yang berkombinasi dengan budaya politik yang masih terbelakang (kompas.com, 16/8/2016).

Pada acara muslimah nasional yang diselenggarakan secara online, Risalah Akhir Tahun (RATU), Ibu Ratu Erma Rahmayanti, S.P, seorang pemerhati kebijakan keluarga dan generasi menyampaikan bahwa sebenarnya tahun 2020 menjadi tahun keguncangan berbagai negara di dunia, termasuk di AS sebagai negara dedengkotnya demokrasi. Terbukti dari survei yang menyebutkan 59 persen masyarakat AS menyatakan tidak puas dengan demokrasi.

Masyarakat sudah tahu fakta itu. Betapa mengecewakannya demokrasi dalam menyejahterakan rakyat. Maka wajar sejak tahun 2019 telah banyak opini yang berkembang di kalangan Islam, terkait alternatif format bernegara, yaitu khilafah.

Hanya saja masih menjadi perbincangan, akan seperti apa formatnya jika demokrasi ditinggalkan? Akankah kembali kepada format kerajaan? Atau kembali pada sosialis-komunis yang memang sudah lama ditinggalkan? Sedangkan khilafah belum tergambar secara sempurna bagi kaum muslimin sendiri.

Melihat kondisi ini, penting bagi kita sebagai muslim untuk menghadirkan keyakinan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Sedang syariat Islam adalah perintah Allah. Rasulullah SAW. sendiri telah mempraktekkannya. Kita kemudian menjadikan beliau sebagai uswah, itu artinya kita telah menjadikan perintah Allah tersebut sebagai perintah untuk kita juga. Terlepas dari siapapun kita, baik laki-laki maupun perempuan, berprofesi sebagai apapun, dan dimanapun berada.

Allah memerintahkan tegaknya khilafah sebab hanya sistem khilafah satu-satunya yang bisa menerapkan syariat. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Maidah: 49 yang artinya, “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka...”

Begitu juga dalam QS. Al-Maidah: 45 yang artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” Kedua ayat di atas menjelaskan secara tegas, bahwa siapa saja yang tidak menggunakan hukum Allah adalah zalim, terlebih tidak menggunakannya sebagai format bernegara. Itulah mengapa kita hari ini menemui pemimpin yang otoriter.

Kita adalah generasi yang tidak melihat langsung khilafah dalam menyelenggarakan bernegara dan mengatur rakyat tapi kita telah mendapatkan pemahaman bahwa syariat memerintahkan menegakkan khilafah. Perintah ini artinya wajib. Allah sendiri yang menjamin kebaikannya jika kita taat. Adakah jaminan yang lebih tinggi dari ini?

Inilah jaminan ketika khilafah berdiri. Pertama, kedaulatan ada di tangan hukum syara. Konstitusinya spesial, berasal dari pencipta manusia, Allah SWT. sehingga mengandung kebenaran pasti dan lengkap. Syariah sendiri sudah bicara akidah dan konsep problem solving (mu’alajah musykilah), sehingga tidak ada persoalan yang tidak terselesaikan. Sebab setiap konsep diikuti dengan penjelasan penerapan dan eksekusinya secara rinci.

Kedua, adalah kemampuan pemimpinnya. Syariat menetapkan tujuh syarat in’iqod (syarat sah menjadi pemimpin). Kemudian ditambahkan dengan syarat afdholiyah (syarat keutamaan). Syarat ini terkait wawasan ketatanegaraan dan kemampuan dalam mengelola kebijakan. Ketakwaaan menjadi tameng bagi seorang pemimpin sehingga ia akan menghadirkan Allah dalam setiap pekerjaan dan kebijakannya.

Syarat tambahan yang ketiga adalah harus berkasih sayang pada rakyat. Rasul berdoa, “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi umatku kemudian bersikap kasar, maka kasarilah dia di akhirat. Sebaliknya jika pemimpin itu berbuat baik maka balaslah dengan kebaikan pula.”

Jaminan ketiga jika khilafah diterapkan adalah efisiensi dan kesederhanaan birokrasi. Standarnya sama, yaitu hukum syara, struktur organisasinya juga tidak panjang sehingga persoalan dari bawah bisa segera diberi solusinya. Jaminan keempat berupa kesatuan komando. Tidak banyak pembisik di sekitar khalifah, sebab kewenangannya ada ditangan khalifah. Meskipun begitu, posisi khalifah tidaklah di atas hukum syara melainkan terikat dengannya, sama seperti rakyat.

Lantas apakah khilafah menjamin nasib perempuan lebih baik? Sebab hari ini gambaran demokrasi yang nampak nyata bagi perempuan adalah gaungan kesetaraan. Kesetaraan diperoleh melalui kekuasaan. Ujungnya perempuan dipaksa untuk memperjuangkan nasibnya sendiri, sedangkan dalam Islam yang mereka lihat ada diskriminasi hak-hak perempuan.

Padahal dalam Islam, wanita benar-benar akan disejahterakan dalam setiap kebutuhan pokoknya sehingga tidak ada beban finansial sepanjang hidupnya. Artinya jika ia ingin bekerja, maka hukumnya bukan wajib tapi mubah. Boleh asalkan tidak melanggar hukum syara terkait keluarnya dia dari rumah ke wilayah umum dan jenis pekerjaannya. Perempuan akan dinafkahi oleh suami, wali, atau kerabatnya. Untuk itu negara membangun mekanisme tertentu agar setiap laki-laki baligh mampu memenuhi kewajibannya menafkahi.

Wallahua’lambishshowwab.

#DemokrasiMatiKhilafahDinanti
#DemokrasiSengsarakanPerempuan
#JayaDenganSyariatIslam
#IslamJagaPerempuan

 

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis