Mengurai Benang Kusut Korupsi di Indonesia

Oleh : Aminah Darminah
(Muslimah Metro Lampung) 

 

Lensa Media News – Indonesia menjadi surga bagi para koruptor. Tindakan haram korupsi dianggap hal yang biasa. Para koruptor sulit untuk dijerat hukum bahkan bisa melenggang bebas dengan status sebagai buron. Sulit memberantas korupsi di negeri ini sebab pelakunya diduga sebagian besar penguasa, seperti pejabat negara, politikus, para pengusaha.

Tim tangkap buronan (Tabur) Kejaksaan Agung RI menangkap terpidana Suryadi Pangestu yang sudah buron selama 14 tahun. Suryadi ditangkap di Tangerang terkait korupsi tukar guling aset di wilayah kabupaten Bekasi.

Menurut Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono, “Keberhasilan penangkapan buronan pelaku kejahatan oleh Tim Tabur Kejaksaan Agung dan Tim Tabur Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Tim Tabur Kejaksaan Bekasi kali ini merupakan penangkapan buronan yang ke-76 di tahun 2020 dari semua buronan yang berhasil diamankan oleh Tim Tabur Kejaksaan RI dari berbagai wilayah baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sebagai terpidana” (detiknews, 18/9/2020)

Mirisnya lagi, di masa pandemi saat ini korupsi terhadap dana bansos pun terjadi. Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Ahmad Ramadhan telah melakukan pengawasan terhadap penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) untuk masyarakat terdampak covid-19 tercatat 107 dugaan kasus penyelewengan dana bansos pada seluruh Polda seluruh Indonesia. “Berdasarkan data yang diterima, terdapat 107 kasus penyelewengan bantuan sosial di 21 Polda sampai bulan Agustus 2020” ujar Ahmad di mabes Polri (Jpnn.com, 4/9/2020).

Fakta korupsi di Indonesia memprihatinkan, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron, merasa prihatin ketika banyak pejabat negara yang terjerat korupsi. “(Kami) KPK itu menangis ketika menangkap para pejabat negara, KPK juga bersedih bagaimanapun mereka bagian dari pemimpin bangsa Indonesia, bagian dari wajah bangsa Indonesia ketika banyak ditangkapi, maka wajah dan reputasi Indonesia menjadi runtuh” (Tempo.co, 26/8/2020).

Tekad berbagai kalangan untuk memberantas korupsi tidak mengurangi tindakan korupsi, malah kian menggurita mulai dari tingkat pusat hingga pelosok desa. Akar penyebab utamanya, Pertama, Mental aparat yang bobrok. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan memberantas korupsi justru ‘main mata’ dengan para koruptor. Sebagian besar para koruptor secara ekonomi orang yang cukup kaya, namun sifat tamak untuk memperkaya diri dan keluarganya, ditambah budaya hidup yang konsumtif dan lemahnya keimanan makin mudah tergoda untuk korupsi.

Kedua, Rusaknya sistem politik dan pemerintahan. Sehingga memberi peluang kepada aparatur pemerintah, politikus maupun pengusaha untuk melakukan korupsi. Mahalnya biaya politik di Indonesia juga memicu praktik korupsi.

Sejarah sudah membuktikan bagaimana Islam memberantas korupsi. Salah satunya dengan sistem pembuktian terbalik seperti yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap gubernurnya Abu Hurairah. Abu hurairah menabung banyak harta dari sumber -sumber yang halal, sebanyak 10.000 dinar dan khalifah Umar memintanya untuk diserahkan ke baitul mal.

Jabatan politik di dalam Islam adalah amanah yang ditujukan untuk melayani rakyat dan menerapkan syariat Islam, sehingga jabatan tersebut tidak menjanjikan materi. Setiap pemimpin hakekatnya adalah penggembala yang akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. Tidak ada istilah balik modal bagi seorang politikus muslim.

Ada beberapa mekanisme yang diterapkan di dalam Islam agat para pejabat tidak melakukan korupsi.
Pertama, pembuktian terbalik. Setiap pejabat negara akan dihitung kekayaannya ketika diangkat menjadi pejabat, kemudian diakhir jabatan akan dihitung kembali. Sehingga terlihat selisih penghasilan sebelum dan sesudah menjadi pejabat negara. Jika ada selisih diluar kewajaran akan di kembalikan ke baitul mal.

Kedua, Agar tugas yang diemban pejabat negara bisa optimal dan profesional, pejabat negara berhak untuk mendapat santunan yang layak untuk mereka dan keluarganya.

Ketiga, negara memberikan hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi. Yaitu potong tangan jika sudah sampai nishabnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, Rosulullah bersabda, ” Tangan dipotong karena mencuri 1/4 dinar lebih.” Nishab potong tangan sebesar 1/4 dinar emas atau lebih, setara dengan 1,0625 gram emas. Sebab, 1 dinar emas syar’i setara dengan 4,25 gram emas. Tujuannya untuk memberikan efek jera untuk mencegah terjadi kejahatan yang sama, sekaligus sebagai penebus dosa.

Telah terbukti sistem yang diterapkan memacu terjadinya korupsi, yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Jika sistem dan orangnya saat ini telah terbukti menyengsarakan rakyat apakah masih bertahan dengan sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini?

Wallahualam bish showaab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis