Pilkada Dapat Menghidupkan Perekonomian Rakyat, Benarkah?
Oleh Firda Umayah, S.Pd
(Pendidik dan Pemerhati Sosial)
Lensa Media News – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang diselenggarakan tahun ini sejak Rabu 24 Juni 2020 telah memasuki tahapan kontestasi politik tingkat kepala daerah. Meskipun masa pandemi masih melanda, bahkan jumlah pasien Covid-19 masih terus meningkat, pemerintah bersikukuh bahwa Pilkada yang dilakukan adalah demi kebaikan bangsa. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkada tidak mungkin ditunda lagi, sebab dapat mengorbankan ekonomi lebih banyak. Sedangkan kepala daerah yang menjabat pun tidak memiliki kewenangan secara definitif (suara.com/25/06/2020).
Senada dengan Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan dengan terselenggaranya Pilkada 2020, maka UMKM dan dunia usaha pun ikut bergerak. Tito mengatakan hal ini mengingat sebanyak 40 persen anggaran Pilkada akan digunakan untuk peralatan pilkada dan kebutuhan untuk menyesuaikan protokol kesehatan (m.liputan6.com/05/07/2020). Lebih jauh lagi, Tito mengajak kaum milenial berpengaruh atau influencer di media sosial agar mau turut membantu pemerintah meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020. Tito berharap bahwa jumlah partisipan mencapai lebih dari 50 persen.
Besarnya ambisi pemerintah untuk tetap melanjutkan Pilkada ditengah pandemi seakan melupakan derita rakyat yang kini masih terus terjadi. Bertambahnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, pasien positif Covid-19 yang terus meningkat, kriminalitas yang terjadi dimana-mana, tarif listrik melambung tinggi, bunuh diri yang menghantui masyarakat, dan lain sebagainya masih terus meresahkan masyarakat. Kalaupun ekonomi meningkat dalam rangka penyediaan protokol kesehatan, itu merupakan sebagian kecil saja. Faktanya, masyarakat menengah ke bawah masih sulit untuk mencari sesuap nasi lantaran pemasukan yang ada tak sebanding dengan biaya hidup yang harus dikeluarkan. Terlebih lagi tidak ada jaminan penghidupan layak bagi mereka. Bantuan pemerintah yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu juga tak dapat diterima oleh semua masyarakat miskin. Hanya sebagian kecil diantara mereka saja yang dapat menerimanya.
Pilkada yang dianggap sebagai bagian dari pesta demokrasi, sejatinya adalah jalan untuk melanggengkan kekuasan ala kapitalisme. Tak dapat dipungkiri bahwa semua calon kepala daerah harus menyiapkan nominal rupiah yang tak sedikit untuk mendapatkan dukungan partai politik tertentu. Semakin banyak partai politik yang mendukung maka semakin besar pula dana yang harus disiapkan. Para pemilik modal (kapitalis) turut serta dalam memberikan tawaran modal atau biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya biaya yang dikeluarkan kemudian membuat pemimpin yang terpilih dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal yang selama ini telah dipinjam atau dikeluarkannya. Walhasil, kebijakan yang diberikan tak lepas dari kepentingan partai politik pengusungnya atau para kapitalis. Memuluskan projek-projek kapitalis, menjual sumber daya alam, membuat hukum atau undang-undang pesanan, dan lain sebagainya sangat mungkin terjadi di kalangan para pemimpin yang terpilih. Sehingga, Pilkada serentak yang akan diadakan bisa dikatakan menjadi ajang untuk mempertahankan sistem kriminal. Lalu, bagaimana Islam menanggapi hal ini?
Islam sebagai sebuah ideologi memiliki pandangan yang khas dalam pemerintahan. Dalam pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), seseorang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau kepala negara berdasarkan keimanan kepada Allah SWT demi menjaga keberlangsungan penerapan syariat Islam. Islam juga telah menetapkan syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin daerah atau negara. Ada 7 kriteria yang harus dipenuhi yaitu: laki-laki, muslim, baligh, berakal, mampu, adil dan merdeka.
Proses pemilihan dilaksanakan dalam waktu singkat, tidak lebih dari 3 hari. Hal ini dapat mencegah terjadinya upaya suap atau kecurangan di dalam proses pemilihan. Selain itu, proses pemilihan juga tidak memerlukan biaya banyak karena pemungutan suara dapat dilakukan melalui tokoh masyarakat yang menjadi wakil atas suara masyarakat setempat. Sistem pemilihan dalam Khilafah juga minim terjadi kericuhan karena masyarakat memilih calon pemimpin berdasarkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Bukan untuk mencari keuntungan materi sebagaimana pemilihan dalam sistem demokrasi yang sarat akan politik uang dan juga kecurangan.
[lnr/LM]