Pride Mount dan Rusaknya Dunia di Bawah Kapitalisme
Pride Mounth merupakan peringatan perlawanan komunitas gay terhadap polisi yang terjadi di Stonewall Inn, New York tepatnya pada 28 Juni 1969. CNN meliput bahwa tradisi yang hampir terjalin selama 50 tahun ini bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ agar mereka bisa diterima oleh masyarakat luas. Tahun ini Pride Mount berhasil digagalkan karena pandemi Covid – 19 yang tengah menjadi momok bagi dunia.
Namun tak habis akal, kelompok minoritas ini tetap melaksanakannya secara online bahkan sempat menggegerkan dunia maya dengan banyaknya dukungan dari berbagai perusahaan besar. Sebut saja Unilever Global yang mengubah logo perusahaannya mengikuti identitas warna kebanggaan komunitas LGBTQ, hingga viral terkait wacana boikot Unilever oleh masyarakat Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa kaum LGBT semakin kuat dan tersistemis dalam menyebarkan virusnya ke seluruh penjuru dunia.
Padahal science telah membuktikan bahwa perilaku menyimpang ini menimbulkan efek domino yang luar biasa. Ancaman penyakit menular seksual terutama HIV/AIDS tak ayal menjadi problematika yang semakin mewabah, kerusakan moral kekerasan dll. Paham liberalisme dalam ideologi kapitalisme meniscayakan LGBTQ tumbuh subur dan menyebar luas bagaikan sel kangker yang menggerogoti jiwa para pemuda terutama. Padahal kita tau bahwa pemuda adalah generasi penerus bangsa. Bila generasi saat ini rusak, apa jadinya masa depan dunia?
Maka jelas ideologi ini tak lagi layak diemban oleh dunia. Di sisi lain Islam menawarkan solusi komperhensif yakni berupa solusi preventif (pencegahan) ataupun kuratif (terapi/pengobatan) dalam memberantas LGBT ini. Secara preventif Islam memiliki seperangkat aturan tentang parenting, kewajiban dakwah oleh masyarakat hingga penjagaan negara terhadap akal dan ketakwaan rakyatnya. Secara kuratif Islam memiliki sanksi yang tegas dan membuat jera.
Shita Ummu Bisyarah
[hw/LM]