Petugas yang akan melakukan rapid test, diusir oleh para pedagang di pasar Cileungsi, Bogor. Berita ini viral menghiasi pemberitaan. Petugas tak bisa berbuat apa-apa, selain mengabulkan penolakan, dari para penghuni pasar.

Menurut Bupati Bogor, Ade Yasin, telah terjadi kesalahpahaman. Para pedagang pasar Cileungsi, mengira dianaktirikan. Diperlakukan berbeda, dengan pedagang kaki lima. Padahal, baik pedagang di pasar maupun pedagang kaki lima, tetap ada pembatasan. Salah satunya, ada pembatasan waktu untuk membuka lapaknya.

Namun, penolakan tidak hanya terjadi di pasar Cileungsi. Kondisi semisal, terjadi juga di Bekasi, Sulawesi, dan daerah lain. Yaitu, penolakan beberapa keluarga, bahkan sampai merebut paksa jenazah anggota keluarganya, agar tidak diselenggarakan sesuai prosedur Covid.

Kurangnya sosialisasi, jadi alibi. Padahal menurut para pengamat kebijakan publik, penyebab utama adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat. Ditambah kebijakan plin plan, demi membela para pemodal.

Dampaknya, sudah lebih dari tiga bulan, pandemi belum juga hilang. Malah, jumlah korban meroket tajam. Perhari, menembus seribu lebih. Sedangkan korban meninggal, sudah melampaui angka dua ribu orang. Apakah ini, bukti dari keseriusan?

Heran. Pengambil kebijakan, tetap menyatakan, penambahan tersebut wajar. Karena, ribuan rapid test, dilakukan di setiap hari. Namun, apakah tak terusik hati nurani mereka saat melihat korban yang berjatuhan?

Maka, tak hanya keseriusan. Diperlukan adanya kesadaran dan keimanan. Sehingga, manusia memiliki hati nurani, juga cara pandang mengenai kehidupan.

Tiga pertayaan, darimana berasal? Mau apa hidup sekarang? Dan akan kemana setelah meninggal? Dijawab dengan benar. Menjadikan manusia, akan bijaksana dalam hidupnya.

Berpedoman pada hukum syara, dimana aqidah umat dipelihara. Hasilnya, berupa dukungan masyarakat, ketika menjabat. Tidak akan ditolak, melainkan taat. Wallahu’alam.

Sri Ratna Puri

(Pengemban Dakwah)

 

[Faz]

Please follow and like us:

Tentang Penulis