Virginitas, Komoditas Tanpa Batas

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo

 

 

LensaMediaNews— Banyak jalan menuju Roma. Namun apakah dibenarkan jika niatan menolong namun menggunakan jalan yang tak biasa?

 

Jika kita berbicara di sistem hari ini, jelas yang saya tanyakan akan dijawab, bisa saja dibenarkan. Itu hak asasi manusia, siapapun dia. Bebas mengekspresikan apa yang di hatinya. Toh juga demi kebaikan. Justru nampak kemuliaan hatinya yang rela mengorbankan sesuatu yang paling suci dari dirinya.

 

Adalah Sarah Keihl atau Sarah Salsabila, wanita yang kini viral karena rela melelang keperawanannya untuk pejuang virus Corona atau covid-19. Selebgram ini mengumumkan akan lelang keperawanan melalui akun Instagramnya yang sudah terverifikasi, profil dan biodatanya bisa dilihat di dalam artikel.

 

Dan tak main-main Sarah Salsabila melelang keperawanannya mulai dari angka Rp 2 miliar (tribunkaltim.co, 21/5)2020). Sungguh harga yang fantastis untuk sebuah kesucian, lepas dari rasa nikmat atas maksiat yang ia lakukan kelak jika lelangnya telah deal di harga yang dimaksud.

 

Entah hilang akal atau memang jalang, keputusan gadis itu sungguh tak bisa masuk di nalar. Dia artikan tubuh yang merupakan anugerah tak terhingga dari sang pencipta bak barang biasa. Namun sekularisme yang menjadi landasan ia berbuat memang tak memperdulikan halal haram. Jika itu bermanfaat mengapa harus ditolak?

 

Maka wajar jika kerusakan sosial menjadi berita sehari-hari. Gadis tak lagi memelihara kemuliaan mereka hingga mereka sah dipinang lelaki yang halal untuknya. Janji gemerlap dunia lebih menggiurkan daripada siksa yang abadi di akhirat. Berapa banyak anak kehilangan nasab mereka karena terlahir tanpa ayah yang sah, berapa banyak bayi terpaksa jadi komoditas traficking manusia sebab si ibu bayi tak punya biaya melahirkan atau sekedar untuk menutup rasa malu.

 

Berapa jumlah remaja perempuan yang kehilangan masa depan sebab pelecehan, pemerkosaan dan lain-lainnya? Tak terdata dengan jelas, namun banyak keluarga yang akhirnya merasakan perih sebab kehilangan anggota keluarga yang depresi, nekad bunuh diri dan lain-lain.

 

Di mana peran negara? Di saat rakyatnya mulai tak mampu membedakan halal dan haram seharusnya penguasalah pihak yang paling getol mengupayakan mereka berada di jalan yang benar. Masyhur kiranya kisah bagaimana seorang gadis di masa pemerintahannya Umar bin Khattab yang menolak perintah ibunya di suatu malam untuk mencampur air dengan susu. Agar esok hari mendapat keuntungan lebih banyak.

 

Perkataan gadis itu mampu menggetarkan hati sang Khalifah, “Wahai ibu, aku tidak mau melakukan itu. Sungguh aku takut akan dosa, Khalifah mungkin tak tahu apa yang aku perbuat, tapi Tuhannya Umar bin Khattab mengetahuinya” dengan serta merta Umar memanggil salah satu anaknya untuk segera menikahi si gadis. Ketaatannya kepada Rabbnya telah cukup menjadi jaminan kelak keluarga apa yang hendak dibangun.

 

Atau bagaimana seorang wanita pezina yang mengakui perbuatannya dan meminta Rasulullah memberinya hukuman. Dia paham betul bahwa hukum di dunia yang berdasarkan syariat akan jauh lebih ringan dibanding dengan kelak di akhirat. Rasul meminta perempuan itu melahirkan anaknya terlebih dahulu, bahkan hingga si anak sudah disapih dan siap ditinggal ibunya.

 

Maka tak bisa tidak, kita butuh sistem Islam itu kembali, mengatur manusia dengan sifatnya sebagai solusi umat. Sebab, secara syara, tidaklah sesuatu yang haram mampu mengantarkan kepada kebaikan. Selamanya. Bahkan kepada yang mubah sekalipun.

 

Firman Allah dalam Quran Surat An-Nahl: 122 yang artinya, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”

 

Menjadikan kesucian seorang wanita sebagai komoditas jelas sebuah kriminalitas besar di hadapan syariat. Ini bentuk pengabaian rasa syukur terhadap apa yang telah Allah anugerahkan. Yaitu jasad yang sehat. Di mana jasad itu mampu membantu manusia produktif beramal salih.

 

Pengabaian terhadap salah satu syariat jelas jika dilakukan terus menerus. Bahkan menjadi ideologi jelas akan mengundang azab Allah SWT dan itu jauh lebih dahsyat menimpa tak hanya mereka yang melakukan dosa namun juga orang-orang di sekitarnya. Naudzubillah. [LN//LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis