Kehidupan normal baru, diwacanakan terus menerus di tengah pandemi Covid-19 yang semakin memuncak. Presiden Jokowi menyebutnya “Hidup berdamai dengan Covid 19”. Masyarakat dihimbau agar mempersiapkan diri mengikuti protokol kesehatan dalam mengahadapi kehidupan normal baru ini.

 

Pemerintah tidak menyebutnya sebagai Herd Immunity, tetapi kebijakan-kebijakannya mengarah kepada hal tersebut. Herd immunity artinya menyerahkan rakyat kepada seleksi alam, rakyat yang imunnya kuat bisa bertahan, rakyat yang imunnya lemah akan mati dengan sendirinya, kalau orang jawa bilang urip karepmu, mati karepmu.

 

Pemerintah berdalih hal ini dilakukan, untuk mengatasi sektor ekonomi yang mengalami keruntuhan, industri tidak berjalan, masyarakat kehilangan penghasilan, kriminalitas meningkat dan terjadi kekacauan.

 

Kebijakan new normal life, jika dipaksakan, maka pemerintah sedang bermain-main dengan nyawa rakyatnya. Harusnya penguasa adalah pelindung, pengayom dan pelayan rakyatnya. Menyelamatkan ekonomi rakyat dengan mengorbankan nyawa rakyat yang lain merupakan kejahatan yang amat besar.

 

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar bisa, harusnya bisa mandiri secara ekonomi, mampu menghidupi rakyatnya yang sedang mengalami pandemi. Tetapi ternyata SDA yang dimiliki diserahkan kepasa asing pengelolaanya, Indonesia hanya mendapatkan keuntungan sedikit saja, sehingga wajar jika di masa pandemi Covid-19 ini pemerintah kelimpungan, tidak mampu menanggung ekonomi rakyatnya.

 

Kita seharusnya berkaca kepada khilafah Islamiyah dalam mengatur negara dalam berbagai sektor, termasuk cara penanganan wabah penyakit. Dalam menangani wabah penyakit, khilafah akan menerapkan lock down sesegera mungkin di awal kemunculan wabah tersebut. Supaya tidak meluas, sehingga wilayah lain tetap aman menjalankan roda ekonominya. Khilafah fokus menangani wabah, kemudian kebutuhan ekonomi rakyatnya di wilayah yang terkena wabah ditanggung negara. Sehingga wabah bisa cepat ditanggulangi, dan ekonomi rakyat bisa berjalan lancar. Wallahua’alam. [RA/LM]

 

Rismawati

Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Please follow and like us:

Tentang Penulis