Lagi, Rakyat Dipaksa Menelan ‘Pil Pahit’ Kenaikan BPJS

Oleh: Sartinah

(Pegiat Literasi, Member AMK) 

 

Lensa Media News – Kesehatan kini menjadi barang mahal untuk dinikmati. Terlebih di masa pandemi seperti saat ini. Masyarakat yang sedang terseok-seok memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak merebaknya Covid-19, kini kembali harus menelan ‘pil pahit’. Pasalnya, pemerintah bakal menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah anjloknya ekonomi rakyat.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Meski kenaikan BPJS telah resmi naik per 1 Januari 2020, sayangnya kebijakan ini menuai protes. Akhirnya pada 9 Maret 2020, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan. Namun, pada 14 Mei 2020, lagi-lagi pemerintah memutuskan iuran BPJS Kesehatan tetap naik. Sontak saja hal ini menyulut kekecewaan banyak pihak termasuk DPD RI.

Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, mengatakan, kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Apalagi kebijakan tersebut dilakukan di tengah-tengah pandemi Corona seperti sekarang ini. Menurutnya lagi, banyak UMKM serta perusahaan terancam bangkrut, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan kenaikan BPJS. (Serambinews.com, 17/5/2020)

Keputusan pemerintah untuk kembali menaikkan iuran BPJS saat wabah tak hanya melanggar keputusan MA, tetapi mengisyaratkan ketidakpekaan pemerintah terhadap derita rakyat. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terseok-seok memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah pandemi, kini rakyat pun harus menelan ‘pil pahit’ karena biaya kesehatan terus naik. Tak seperti jaminan kesehatan, BPJS lebih layak menjadi asuransi kesehatan. Sebab dalam pelayanannya lebih berhitung untung rugi ketimbang memprioritaskan kesehatan rakyat.

Padahal, rakyat membutuhkan layanan kesehatan gratis dan berkualitas. Terlebih di tengah pandemi dan terpuruknya ekonomi yang berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan. Tak dinyana, pemerintah malah tega menaikkan iuran BPJS yang kian menambah berat beban rakyat. Negara ibarat perusahaan yang hanya berburu profit tanpa peduli nasib rakyat. Hal ini menjadi sinyal buruk kegagalan negara dalam mengurus rakyat di bawah naungan kapitalisme.

Layanan kesehatan ala kapitalisme yang berhitung untung rugi, tentu bertolak belakang dengan Islam dalam melayani dan meringankan beban rakyat. Islam memiliki paradigma sahih tentang kesehatan, yakni sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Sebab, penguasa bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat termasuk memberi pelayanan kesehatan secara optimal dan terjangkau.
Nabi saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagai salah satu kebutuhan dasar rakyat, layanan kesehatan diberikan secara optimal oleh negara. Untuk memenuhi layanan tersebut, negara (khilafah) banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Pasien dilayani dengan adil tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama, serta tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Bahkan, selain memperoleh perawatan, obat, serta makanan gratis, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan.

Tak lupa, negara juga mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanannya. Ini diperuntukkan bagi orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus. Seperti, mereka yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir. Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran dan sejumlah dokter untuk menelusuri pelosok-pelosok negara.

Terkait pembiayaan kesehatan, Islam telah menetapkan bahwa kesehatan menjadi salah satu pos pengeluaran pada baitulmal dengan pengeluaran yang bersifat mutlak. Artinya, meskipun tidak ada harta yang tersedia di pos atau ada tapi tidak mencukupi, sementara ada kebutuhan pengeluaran untuk pembiayaan pelayanan kesehatan, maka boleh dilakukan penarikan pajak temporer sebesar yang dibutuhkan saja. Namun, jika hal ini berakibat mudarat pada masyarakat, maka negara diizinkan berutang secara syar’i pada rakyat yang kaya saja.

Sedangkan sumber-sumber pemasukan untuk pembiayaan kesehatan yang memadai, salah satunya berasal dari barang tambang yang jumlahnya berlimpah. Baik tambang batu bara, gas, minyak bumi, hingga tambang emas dan berbagai logam mulia lainnya. Hal ini meniscayakan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan semua fungsinya.

Demikianlah jaminan Islam dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat. Islam tidak mengenal untung rugi dalam hal pelayanan terhadap kesehatan rakyat. Sebab, tugas penguasa memang sebagai pelayan urusan rakyat.

Wallahua’lambishshawab.

 

[lnr/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis