Membangun Ketahanan Pangan saat Pandemi Berkepanjangan

IMG-20200530-WA0025

Oleh: Ummu Athifa
(Ibu Rumah Tangga, Member Revowriter)

 

LensaMediaNews— Pandemi covid-19 masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan pergi. Banyak sektor yang terkena dampak pandemi berkepanjangan ini. Sektor perekonomian, pertanian, perdagangan, dan tak kalah pentingnya sektor ketersediaan bahan pangan.

 

Ketersediannya pangan yang mulai menipis tentu meresahkan elemen masyarakat. Ini sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Banyak sekali daerah-daerah di Indonesia yang merasakan susahnya mencari pangan disaat pandemi.

 

Dampak penyebaran virus covid-19 menyebar hingga ke masyarakat desa. Berhentinya aktivitas ekonomi membuat masyarakat rawan akan kelaparan. Salah satunya cadangan bahan pokok, terutama beras dan gula di Batam, terus menipis selama masa pandemi. (kompas.id/18Mei2020).

 

Selain itu, di Kuningan pun diprediksi terjadi kelonjakan tingkat kelaparan dan kemiskinan. Alhasil banyak pemerintah daerah menggalang bantuan. Pemerintah mengajak memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan guna memperkuat ketahanan pangan dalam negeri.

 

Lebih dari itu, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengadakan bantuan sosial. Seperti Anggota DPR RI, Yanuar Prihatin melakukan kolaborasi bersama pengurus DPC PKB Kuningan membagi sembako di Kabupaten Kuningan.

 

Pembagian diarahkan kepada pimpinan pondok pesantren, marbot, dan pekerja lepas harian terdampak covid-19. Berupa 5 ton beras dan 2.000 paket sembako yang disebar ke Kuningan. (https://kuningan.radarcirebon.com/2020/05/18)

 

Adapun Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Jawa Barat menginisiasi Gerakan Tanam Singkong untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Penanaman singkong di lahan seluas 1-2 hektar dari total 13 hektar lahan di kawasan Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

 

Ketua DPD Partai Hanura Jabar, Dian Rahadian menyatakan, Gerakan Tanam Singkong dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan akibat pandemi covid-19. Mengingat belum ada satu pun pihak yang mampu memprediksi kapan pandemi berakhir. (https://www.pikiran-rakyat.com/19Mei2020)

 

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tentu tidak akan membuahkan hasil tanpa dukungan pemerintah pusat. Roda pemerintahan seyogyanya beriringan dengan kebijakan yang disepakati. Pemerintah pusat harusnya sudah memikirkan bagaimana caranya agar ketersediaan pangan terjamin di negerinya. Baik ketika adanya wabah ataupun tidak.

 

Keseriusan pemerintah dalam menangani krisis belum memperlihatkan hasilnya. Belum terpikirkan pula bagaimana membangun ketahanan pangan yang ideal untuk rakyatnya. Karena masih memikirkan untung-rugi dalam memfasilitasi kebutuhan pokok rakyatnya.

 

Padahal menjadi kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya, terutama dalam kondisi pandemik saat ini. Pemerintah lepas tangan untuk menyiapkan pangan bagi rakyatnya. Bantuan datang dari orang dermawan maupun relawan, tentu hanya sampai pada batas parsial.

 

Sedangkan Kartu Prakerja dan BLT, ibarat hantu gentayangan yang membayangi. Sifatnya hanya sementara. Sungguh ironis! Jika dalam kondisi normal kebutuhan pangan masih jadi perhatian pemerintah, apalagi ketika terjadi pandemi.

 

Ini menunjukkan bahwa tata kelola pangan harus serius dan cekatan, khususnya di kala pandemi. Realitasnya, rakyat kecil tetap tak dapat menikmati lezatnya angka surplus stok pangan. Kondisi ini menegaskan bahwa ketahanan pangan masih sebatas slogan.

 

Sebagaimana diketahui, ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia sangat lemah akibat abainya negara untuk mewujudkannya. Sumber daya pangan didominasi impor karena sistem demokrasi yang dianut oleh negeri ini meniscayakan tumbuh suburnya mafia pangan.

 

Karut marut terkait pangan masih terus berlangsung hingga hari ini. Sungguh tidak akan terjadi sekiranya bangsa ini memahami konstelasi global. Yakni bahwa negara-negara kapitalis, telah menciptakan jebakan untuk menjerat negara-negara lemah namun kaya seperti Indonesia dalam cengkeraman hegemoninya.

 

Hakikatnya, Indonesia memiliki potensi SDM yang melimpah. Tanahnya yang subur dan kaya potensi sumber daya semestinya cukup menjadi modal membangun kemandirian bahkan kedaulatan di berbagai bidang, termasuk pangan.

 

Negara harus memanfaatkan semua potensi tadi, untuk membangun kembali ketahanan pangan. Artinya, pemerintah harus berani melepaskan diri dari sistem kapitalisme demokrasi.

 

Berbeda dengan Islam, satu-satunya sistem yang dapat diandalkan untuk menghadapi krisis pangan. Karena sistem ini tegak di atas paradigma yang menjadikan negara/pemerintahan sebagai pelayan (raain) bagi umat. Ketahanan pangan dalam Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian, bahkan industri berat.

 

Maka dari itu, satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya. Wallahu’alam bi shawab. [LN/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis