Bikin Resah, Bansos (Bantuan Sosial) Covid-19 Tak Kunjung Datang
Oleh : Dina Aprilya
(Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara)
Lensa Media News – Bansos salah sasaran. Demikian berita yang memenuhi headline awal Mei lalu. Penyaluran bantuan beras dari Pemko Medan kepada warga terdampak Covid-19 kembali menuai protes. Kali ini seorang warga Jalan Gaperta Ujung Gang Pembangunan Nomor 39 Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Boru Sihombing mengeluh hingga saat ini belum mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Ia menilai bahwa bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran. Ia menyebut warga yang tidak seharusnya mendapat bagian malah dapat bansos, sementara warga yang membutuhkan belum mendapat bantuan apapun. Ia mengaku sudah mengeluhkan hal tersebut kepada kepala lingkungan (Kepling) setempat, namun belum mendapat respons (medan.tribunnews.com, 15/05/2020).
Berdasarkan data dari corona.jakarta.go.id, yang bersumber dari Dinas Sosial dan PD Pasar Jaya, Kemensos sendiri menggelontorkan bansos dengan anggaran berbeda-beda di beberapa wilayah. Untuk Jakarta, anggaran disiapkan sebesar Rp2,2 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 1,2 juta kepala keluarga. Wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) anggarannya sebesar Rp1 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 576.000 kepala keluarga. Luar Jabodetabek anggarannya Rp16,2 triliun untuk bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600.000 per bulan selama tiga bulan, yang diberikan kepada 9 juta kepala keluarga (alinea.id, 01/05/2020).
Menteri Sosial Juliari P Batubara sendiri mengakui jika bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat terkena dampak pandemi Corona atau Covid-19 masih ada yang tidak tepat sasaran. Menurutnya, data yang diterima pihak kementerian berasal dari pemerintah daerah belum direvisi secara pasti (merdeka.com, 06/05/2020).
Jika pemerintah sendiri tidak memiliki basis data yang kuat dan padu, maka wajar jika data pemerintah pusat tidak sinkron dengan pemerintah daerah. Cara pemerintah pusat memberikan dana kepada daerah, proporsi penduduk itu tidak pernah dijadikan patokan. Dan terasa efeknya pada saat Covid-19. Dana desa yang dibagikan berdasarkan jumlah desa, bukan jumlah penduduk.
Akurasi data menjadi problem klasik yang terjadi setiap kali program bantuan pemerintah tak tepat sasaran. Tidak ada perencanaan dan mekanisme kerja yang baik sehingga masalah yang sama selalu berulang. Memunculkan pula masalah lainnya yaitu potensi konflik di masyarakat karena kecemburuan sosial. Inilah gambaran perhatian setengah hati yang ditunjukkan oleh rezim kapitalis terhadap rakyat. Bahkan secara keseluruhan penanganan wabah Covid-19 oleh pemerintah sejak awal hingga kini diakui banyak pihak kurang sungguh-sungguh.
Ini menunjukkan hubungan antara pusat dan daerah tidak berjalan harmonis. Harusnya saling sinergi, kolaboratif, kerja sama. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak harmonis adalah fenomena yang “alami” dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah, di mana terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di seluruh wilayah. Pemerintah daerah bisa mengelola sendiri keuangannya, baik pendapatan maupun pengeluaran untuk daerahnya.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa berharap kepada penguasa dan sistem yang ada sekarang hanya akan menghantarkan pada delusi semata. Hanya Islamlah jawaban atas setiap ketidakadilan dan kezaliman yang dihadapi rakyat hari ini. Islam memandang pemimpin sebagai pelayan yang bertanggung jawab mengurusi urusan dan kebutuhan umatnya.
Jika kita melihat pada masa Daulah Khilafah Islamiyah dimana Umar bin Khattab ra. saat itu yang menjadi Khalifahnya (pemimpin negara) membawa gandum sendirian untuk memberikannya kepada umatnya yang kelaparan saat itu. Beginilah kesigapan sosok seorang pemimpin dalam daulah Islam melayani rakyatnya dengan segala upaya. Namun, pemimpin seperti ini hanya akan ada dan hadir ketika Islam dijadikan aturan hidup skala individu maupun negara.
Wallahu’alam bishawab.
[ry/LM]