Pandemi Menguak Pahitnya Riba yang Tersembunyi

Akibat pandemi Covid-19 yang menimpa negeri ini, banyak usaha gulung tikar. Tak peduli usaha besar atau kecil, bergerak di bidang jasa atau non jasa, hampir semuanya layu. Lesu. Terlebih, usaha yang ditopang oleh riba, bisa dipastikan usahanya ngos-ngosan. Kehabisan nafas sehingga gagal bayar angsuran ke bank.

Selain dunia usaha, banyak juga orang-orang yang sebelumnya hidup nyaman, kaya raya, serba ada yang kemudian mendadak miskin. Gaji besar namun tak cukup untuk kebutuhan makan, karena memiliki cicilan di mana-mana. Terjerat riba.

Hal ini tidak hanya menimpa orang umum, bahkan artis-artis papan atas pun ternyata banyak yang berkeluh kesah karena tak sanggup membayar cicilan rumah mewahnya, mobil mahalnya dan sebagainya.

Di satu sisi, fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Namun di sisi lain, fenomena ini memberi harapan untuk menyadarkan para pelaku usaha, maupun individu-individu penikmat riba, agar segera meninggalkan riba.

Jika selama ini mereka menggagap riba yang jelas-jelas keharamannya itu terasa manis, mungkin saat ini mereka bisa merasakan bahwa riba itu sangat pahit dan mencekik. Jika selama ini dampak riba secara individu kurang bisa dirasakan, mungkin saat pandemi ini ada sensasi yang berbeda sehingga bisa membuat jera.

Semoga pahitnya riba di masa pandemi ini, bisa menyadarkan banyak kalangan bahwa riba adalah dosa besar. Riba bukan solusi perekonomian. Riba adalah sesuatu yang merusak kehidupan, bahkan mampu merusak perekonomian suatu bangsa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya)

Ria Asmara, Bogor.

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis