Negara dalam Dekapan Pelakor
Oleh : dr.Toreni Yurista
LensaMediaNews – Apa jadinya jika suami berselingkuh? Dibutakan oleh cinta terlarang, ia tega menelantarkan anak dan isteri, bahkan memberikan seluruh harta dan aset berharga kepada wanita lain. Duh!
Isteri tentu akan marah, kecewa, atau mungkin berteriak, “mengapa tak kau ceraikan saja diriku?” Begitulah kurang lebih adegan sinetron di tipi-tipi.
Eh, bagaimana jika yang berselingkuh adalah negara? Ternyata dalam level negara juga ada pelakor, lho howaduh, seseru apa ceritanya?
Emak-emak pasti paham bahwa pemerintah diangkat oleh rakyat untuk mengayomi rakyat. Pemilu dijabanin sampai seribet itu demi memilih penguasa yang mampu memberikan kesejahteraan, bukan?
Ibarat pernikahan, pemerintah adalah suami & rakyat adalah istri yang harus dijamin keamanannya, dicukupi sandang, pangan, dan papannya. Jika suatu hari ada pelakor datang dan merebut ‘cinta’ pemerintah kepada rakyatnya, maka terjadilah perselingkuhan!
Siapakah Pelakor Itu?
Bukan perebut laki orang, tentu saja. PELAKOR di level perselingkuhan negara adalah: Perebut Lahan & Kekayaan orang banyak!
Memangnya ada? Tentu saja ada. Pelakor tipe ini menyebabkan pemerintah tidak lagi mengayomi rakyat yang notabene merupakan ‘istri sahnya’. Justru pelakor itulah yang dilindunginya. Bahkan pelakor itu diberi keleluasaan memiliki aset dan seluruh sumber daya alam yang seharusnya milik rakyat banyak.
Apa buktinya? Terlihat jelas bagaimana penguasa saat ini lebih mengutamakan mempekerjakan tenaga kerja asing di tengah meledaknya angka pengangguran. Tercatat di bulan Januari 2020 saja, telah masuk 188.000 orang TKA China ke Indonesia (cnnindonesia.com, 01/04 2020).
Padahal jumlah anak negeri yang menjadi pengangguran definitif sepanjang tahun 2019 mencapai 7,05 juta, pekerja setengah menganggur jumlahnya 8,14 juta, dan pekerja paruh waktu 28,41 juta orang (beritasatu.com, 15/04 2020). Ooo, betapa teganya!
Aroma perselingkuhan juga tercium dari abainya penguasa tatkala rakyat mengeluh kelaparan di masa pandemi. Ada sebanyak 405,1 triliun rupiah dana Corona yang digelontorkan lewat Perppu nomor 1 tahun 2020. Tetapi hanya sepertiganya saja yang bisa dirasakan rakyat. Sisanya masuk ke kantong investor dan pemilik modal (fajar.do.id, 24/04 2020).
Ada lagi sederet kasus yang mengindikasikan penguasa lebih mengutamakan segelintir elit pelakor. Kartu pra-kerja ternyata menguntungkan perusahaan asing, distribusi bansos kepada anggota partai, APD kurang malah diekspor, tenaga medis dibiarkan meninggal bahkan tanpa diucapi belasungkawa, ah…kelu rasanya jika harus diutarakan satu per satu. Sakitnya, tuh, di sini!
Bercerai dengan Demokrasi
Jika sekali dikhianati, barangkali masih bisa memaafkan. Tetapi jika pengkhiatan itu dilakukan berulang-ulang, tentu perlu ada investigasi mendalam. Jangan-jangan ada cacat permanen dari sistem bernegara kita.
Demokrasi sebagai landasan sistem bernegara ternyata gagal menempatkan rakyat sebagai ‘istri sah’. Meski dipilih dan diangkat oleh rakyat, demokrasi tidak menjamin penguasa mengabdikan diri kepada rakyat.
Tentu saja karena demokrasi emang cacat sejak lahir. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) dalam bukunya, La Politica, menyebut demokrasi sebagai mobokrasi atau pemerintahan segerombolan orang. Plato (472-347 SM) mengatakan demokrasi berpotensi gagal selamanya.
Abdul Qadim Zallum (2002) menjelaskan bahwa demokrasi dari, untuk dan oleh rakyat adalah ide utopis. Bagaimana mungkin sebuah negara akan dipimpin oleh rakyat sebanyak itu? Emangnya 200 juta penduduk Indonesia muat nempatin gedung parlemen dan Istana Merdeka?
Oleh karenanya, rakyat harus mewakilkan dirinya kepada para wakil rakyat & penguasa. Namun, apakah wakil rakyat & penguasa akan benar-benar mewakili rakyat? Pada faktanya, hal ini tidak pernah terjadi.
Justru sebaliknya, rakyat diselingkuhi. Penguasa menjalin hubungan erat dengan kapitalis dan para pemilik modal. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi kepada kepentingan mereka yang paling berpengaruh, yang paling kaya, atau yang paling besar jasanya bagi para penguasa.
Demikianlah, demokrasi memang sejak awal memungkinkan adanya pelakor level negara. Sistem ini tidak layak dipertahankan. Bercerai dari demokrasi adalah jalan terbaik.
Sudah saatnya umat berpaling kepada sistem yang telah kasat mata memberi kemaslahatan. Sistem yang amanah dan nyata kedigdayaannya selama 13 abad lamanya. Tidak lain tidak bukan, sistem itu adalah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bi as-shawwab.
[ry/LM]