Bencana Kelaparan Mengintai, Salah Corona?

Oleh : dr. Toreni Yurista
(Dokter Umum di Bogor)

 

Lensa Media News – Pandemi Corona diperkirakan akan menyebabkan bencana kelaparan yang dahsyat. Pola penyebarannya yang cepat dan susah diukur telah mengakibatkan bencana ekonomi. Pada gilirannya, penduduk hampir miskin akan terjungkal menjadi sangat miskin dan secara otomatis mengalami susah pangan.

Apakah wabah Corona adalah satu-satunya penyebab kemiskinan dan kelaparan? Ternyata, sebelum badai Corona datang pun, Indonesia sudah dihantui kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan yang terjadi di Indonesia sangatlah besar. Salah satu cara melihatnya adalah dengan mengecek indeks gini.

Indeks gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Indeks gini bernilai 1 menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan yang sempurna, atau orang terkaya memiliki pendapatan 100% lebih tinggi daripada orang termiskin.

Meski secara data indeks gini Indonesia berada di angka 0,38 (Badan Pusat Statistik, Januari 2020) atau level ketimpangan sedang, di lapangan kita bisa melihat bahwa orang terkaya Indonesia bisa mendapatkan 2 triliun rupiah sedangkan orang termiskin perlu bersusah payah sekadar untuk mendapatkan 2 ribu rupiah.

Dengan ketimpangan seperti itu, tidak mengherankan jika banyak penduduk Indonesia mengalami kelaparan. Asian Development Bank menggambarkan bahwa selama 2016-2018 ada 22 juta penduduk Indonesia yang mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa (CNBC Indonesia, November 2019).

 

Corona, Akar Masalah Kelaparan?

Apakah bencana kelaparan ini dikarenakan ketergagapan Indonesia sebagai negara berkembang dalam mengatasi Corona? Sepertinya bukan hanya itu. Buktinya, negara maju pun mengalami permasalahan yang sama. Pada tahun 2018, 14.3 juta keluarga di Amerika Serikat berada pada kondisi rawan pangan (Feeding America, 2020). Laporan United States Department of Agriculture pada tahun 2019 bahkan menyatakan dua kali lipatnya, yakni 37 juta jiwa.

Penerapan kapitalisme di dunia merupakan akar masalah utama. Amerika Serikat memberikan gambaran bagi kita bagaimana kapitalisme telah menghasilkan ketimpangan yang luar biasa. Apabila dibandingkan 10% orang terkaya dengan 10% orang termiskin di Amerika Serikat, maka akan dihasilkan angka lebih dari 1, yakni 18.5 (UNDP, Juli 2011).

Artinya, orang terkaya di AS memiliki pendapatan 1800% lebih banyak dibandingkan orang miskin. Kapitalisme telah membiarkan keserakahan berkuasa. Setiap orang, asal memiliki uang, bisa memiliki dan menguasai harta jenis apapun. Tidak peduli apakah harta itu merupakan emas batangan biasa ataukah sumber daya alam yang seharusnya dimiliki rakyat banyak.

Kapitalisme, dengan paradigmanya yang melulu mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara rata-rata, secara tidak langsung juga telah meniadakan perhatian bagi tercukupinya kebutuhan masyarakat orang per orang. Bagi ideologi kapitalisme, tidak masalah ada penduduk yang sangat miskin, toh jika dirata-rata dengan penduduk sangat kaya maka pendapatan per kapita suatu negara akan tetap terlihat baik.

 

Khilafah Islam Solusi Hakiki

Khilafah Islam memiliki paradigma yang sangat khas dalam mengatasi bencana pangan. Pangan adalah kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara. Setiap warga negara, individu per individu, haruslah dijaga oleh negara agar jangan sampai mengalami kelaparan.

Pertama, Islam memerintahkan seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap rakyatnya, memenuhi kebutuhan pokok, dan menjaga keamanan mereka. Setiap pemimpin sadar bahwa kebijakannya akan dihisab kelak di akhirat. Paradigma akhirat ini membuat pemimpin benar-benar serius meriayah, bukan sekedar pencitraan.

Kedua, Khilafah Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Sistem ekonomi Islam menitikberatkan pada distribusi, suatu komponen yang tidak dipandang istimewa di sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme membiarkan distribusi terjadi berdasarkan mekanisme pasar. Akibatnya, hanya yang memiliki modal besar sajalah yang bisa mendapatkan barang dan jasa. Sangat berbeda dengan Islam yang memperhatikan distribusi oleh negara.

Islam tidak melarang individu mendapatkan dan memiliki barang atau jasa. Hanya saja, kepemilikannya diatur. Ada harta yang boleh dimiliki individu, ada yang tidak. Misalnya seperti barang tambang yang bermanfaat untuk rakyat banyak, maka barang tersebut adalah milik rakyat. Negara mengelolanya untuk didistribusikan hasilnya, sebesar-besarnya, kepada rakyat.

Negara juga sangat peduli kepada kaum papa yang memang tidak mampu mengusahakan harta. Contohnya mereka yang jompo dan sakit-sakitan, yang cacat sehingga tidak mampu bekerja, juga anak-anak yatim yang tak memiliki warisan. Mereka ini tidak dibiarkan mencari makan sendiri. Negara memiliki anggaran khusus bagi mereka di luar harta zakat kemudian mendistribusikan harta ini melalui baitul mal.

Ketiga, sistem Islam mengharuskan negara senantiasa berada pada kondisi swasembada pangan. Politik luar negeri khilafah Islam bukanlah bebas aktif, tetapi li nasyril Islam untuk melanjutkan kehidupan Islam. Politik luar negeri seperti ini membuat negara berusaha keras menyebarkan Islam lewat jalan damai maupun futuhat.

Maka, negara harus siap jika sewaktu-waktu diembargo. Hal ini menyebabkan daulah khilafah harus mampu memproduksi sendiri semua kebutuhan dalam negeri, tidak boleh mengandalkan impor, terutama soal pangan.

Demikianlah Islam, jika diterapkan sebagai sebuah sistem bernegara, niscaya akan memberikan maslahat. Bukan hanya karena kehebatan sistemnya, tetapi juga karena datangnya rahmat Allah tersebab ketundukan total umat manusia kepada-Nya. Mudah-mudahan khilafah segera hadir menggantikan sistem kapitalisme yang telah nyata rusak dan merusakkan.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis