Benarkah Frustasi Dorong Tingginya Kriminalitas?
Oleh: Kunthi Mandasri
Lensa Media News – Pandemi corona masih menjadi momok tak kasat mata. Tak hanya mengancam jiwa tetapi juga memiliki sejumlah dampak lainnya. Di antaranya ialah peningkatan angka kriminalitas. Hal ini diperburuk dengan pengambilan kebijakan kontradiktif yang akhirnya menjadi sorotan. Salah satunya program asimilasi napi yang menuai kontroversi. Bahkan kebijakan ini melahirkan gugatan bagi Menkumham Yasonna Laoly.
Sebagaimana dilansir dari Cnnindonesia.com (26/04/2020), sejumlah aktivis hukum yang tergabung kelompok masyarakat sipil menggugat kebijakan pelepasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi yang dilakukan Menkumham Yasonna Laoly ke Pengadilan Negeri Surakarta. Gugatan didaftarkan oleh Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, dan juga Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia. Mereka menyebut bahwa kebijakan tersebut telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat saat pandemic Corona (Covid-19) saat ini.
Bukan tanpa alasan gugatan ini dilayangkan. Pembebasan napi dengan tujuan mengurangi risiko penyebaran di dalam sel tahanan, faktanya justru menyumbang angka kriminalitas yang membuat warga semakin resah. Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Reza Indragiri, keterbatasan gerak selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat masyarakat banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal ini menimbulkan rasa frustasi. Rasa frustasi inilah yang menurut Reza bisa memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dan kejahatan.
“Teori klasik, Teori Frustrasi Agresi. Orang yang frustrasi bisa melakukan kompensasi dengan jalan agresi, kekerasan, dan kejahatan,” katanya lewat pesan singkat kepada Cnnindonesia.com (23/4).
Di sisi lain, rasa frustasi juga menyebabkan seseorang mudah berpikir negatif. Termasuk mengambil jalan nekat, yakni bunuh diri. Seperti yang dilakukan oleh pria berinisial JT yang ditemukan meninggal dunia karena gantung diri di sebuah kamar kos yang berlokasi di Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (21/4). Berdasarkan keterangan adik korban, alasan pelaku melakukan bunuh diri karena memiliki masalah pekerjaan (Cnnindonesia, 21/04/2020).
Kondisi ini diperparah dengan adanya gelombang PHK masal yang tak bisa dielakkan. Akibat ambruknya ekonomi. Bahkan ancaman gelombang PHK susulan masih akan terjadi. Seiring dengan belum tuntasnya penyelesaian masalah Covid-19 ini.
Sayangnya penyelesaian masalah ala paradigma kapitalisme tak pernah menyentuh akar permasalahan. Karena kebijakan yang diambil hanya berdasarkan permasalahan yang nampak. Hal ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem kapitalis sekuler yang selama ini menafikan keberadaan tuhan. Masyarakatnya lebih rentan terjebak rasa frustasi. Karena segala persoalan hanya diukur dengan akal. Padahal dengan menyertakan Allah Swt. dalam segala hal mampu memberikan pertolongan. Salah satunya diberi sikap tenang. Penerapan sistem kapitalis faktanya telah membawa berbagai permasalahan yang berakibat pada kesengsaraan. Ironisnya kaum muslim ikut ambil bagian.
Setiap permasalahan yang datang sejatinya bersamaan dengan solusinya. Begitulah Allah Swt berfirman dalam surah Al Insyirah ayat 5 dan 6. Begitu pula peningkatan kriminalitas di tengah wabah yang melanda. Bisa terurai ketika dikembalikan kepada syariat-Nya.
Islam mewajibkan individu, masyarakat, dan negara memiliki sikap takwa. Sikap inilah yang membuat kaum muslim kokoh menghadapi berbagai masalah. Tak akan resah terhadap rezeki yang telah dijamin untuknya. Apalagi pasrah dan mengambil jalan yang diharamkan oleh Allah Swt., yaitu mengakhiri hidup ataupun menjarah.
Ketakwaan dalam masyarakat melahirkan sikap amar ma’ruf nahi munkar. Memiliki empati terhadap kesusahan orang sekitar. Mencegah terjadinya kemungkaran. Adanya ketakwaan individu dan masyarakat kian sempurna ketika ditunjang dengan negara yang memberikan dukungan dengan menerapkan syariat Islam secara totalitas.
Negara dalam Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, maupun papan. Negara juga berkewajiban memberikan lapangan pekerjaan untuk warganya. Memastikan distribusi kekayaan beredar secara merata dan didukung penerapan ekonomi syariah yang tak mudah goyah. Serta penerapan hukum yang terbukti mampu memberi efek jera dan penerapan sejumlah sistem lainnya yang menunjang.
Keberadaan pemimpin yang bertakwa juga sangat dibutuhkan. Pemimpin yang murni mengemban tanggung jawab semata-mata karena Allah Swt.. Bukan sekedar pamer pencitraan. Khalifah, selaku pemimpin akan menangani krisis akibat wabah dengan cepat, tepat, dan komprehensif. Untuk memaksimalkan keputusannya dengan segera, mengerahkan seluruh struktur, perangkat negara, dan semua potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat yang terdampak. Jika Islam dengan segala komponennya telah memberikan bukti yang nyata, lantas mengapa masih enggan berhukum dengannya?
Wallahu’alam bishshawab.
[ah/LM]