Menjual Kemiskinan dan Kemalangan

Oleh : Fatimah Azzahra, S. Pd.

 

 

LensaMediaNews— “Ah, paling 1.500-2.000 per hari,” ujar seorang kakek penjual barang bekas. “Besar itu tuh menurut abah mah, bisa beli kerupuk sama air minum, ” katanya lagi.

 

Video berdurasi 43 detik yang berisi percakapan antara kakek penjual barang bekas dengan seorang pria ini viral di lini masa. Banyak yang terharu melihat ketabahan sang kakek. Tetap bersyukur walau penghasilannya sangat kecil. Walau tubuhnya sudah ringkih dimakan usia, ia tampak tegar dengan keadaannya. Banyak yang akhirnya tergerak menggalang donasi untuk sang kakek dan keluarganya.

 

Setelah disambangi beberapa donatur, terkuak fakta bahwa kehidupan sang kakek dan keluarga termasuk layak. Keluarganya pun mengaku sangat memperhatikan sang kakek. Sang kakek tinggal di rumah permanen berlantai dua walau belum rampung. Ia juga memiliki kendaraan roda dua. Ironisnya, justru banyak tetangga sang kakek yang lebih membutuhkan bantuan dari pada sang kakek ini.

 

Kepala desa tempat sang kakek tinggal menceritakan bahwa sang kakek dulu bekerja sebagai tukang kebun. Sepulang bekerja, ia sering berjalan kaki, di perjalanan sering ada yang memberinya uang, yang jika dikumpulkan berjumlah lumayan besar. Setelahnya, sang kakek tidak lagi berkebun, melainkan duduk di emperan toko sambil membawa gerobak rongsokan.

 

Sehingga, banyak yang iba padanya dan memberinya uang. Bisa disimpulkan, bahwa sang kakek menjadikan hal ini sebagai sumber penghasilannya. Sungguh miris. Kala kesulitan, kemiskinan, dan kemalangan justru kini dijadikan sebagai sumber penghasilan. Betapa mental malas dan berbohong sudah terpatri merasuk sanubari, teraplikasi dalam tingkah laku sehari-hari.

 

Apapun dilakukan agar bisa mendapat materi. Betapa berbahayanya pikiran semacam ini. Karena bisa membuat orang merasa lebih baik dan lebih enak duduk meminta-minta, atau menjual kelusuhan dan kemalangannya demi materi, daripada harus menjaga kehormatan dengan bekerja dalam menjemput rezeki. Sungguh, rezeki setiap makhluk Allah itu hal yang pasti, kemuliaanlah yang kita cari dari cara penjemputan rezeki.

 

Inilah hasil produk pemikiran materialisme. Apapun akan dikerahkan, apapun akan dilakukan, termasuk berpura-pura menjadi miskin, dan susah, asal materi didapatkan. Bingung. Ya, kasus ini membuat orang bingung dan ragu. Akhirnya kala melihat yang seperti sang kakek dengan pakaian lusuhnya, jalan ringkihnya, mereka akan bingung apakah baik memberi bantuan baik berupa uang atau barang, atau tak usah saja. Karena khawatir jadi kebiasaan buruk yang dipelihara. Padahal, niatnya baik, ingin menolong.

 

Padahal, Rasul telah berpesan “Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).

Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang di panggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung” (HR. Bukhari no. 2075, Muslim no. 1042)

 

Rasul telah melarang kita untuk meminta-minta, kecuali dalam keadaan terdesak. Sungguh, Allah muliakan kita dengan jaminan rezeki darinya. Dan kasus ini bukan hanya satu dua, tapi banyak. Hanya saja, kali ini kisah sang kakek yang terkuak. Alasan tak ingin merepotkan anak, bisa jadi ada dalam diri sang kakek.

 

Tapi, justru ketika anak menafkahi orangtuanya yang renta, merawatnya, itu menjadi jalan baginya berbakti pada orangtua. Itu menjadi salah satu wasilah baginya untuk menapaki surga. _”Celaka seseorang itu (diulang tiga kali), sahabat bertanya: siapa yang celaka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: orang yang mendapati salah satu orang tuanya atau dua-duanya dalam keadaan tua, kemudian (anak tersebut) tidak masuk surga”. (HR Muslim No: 2551)

 

Legowolah, kakek. Ketika anak-anakmu merawatmu, menjagamu, sungguh mereka sedang berjalan menuju gerbang surga melaluimu. Inilah pentingnya mengkaji. Agar paham inilah yang terpatri dalam sanubari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai waktu kita terbuang sia-sia tenggelam dalam pemikiran yang menjerumuskan dalam berbuat dosa. Na’udzubillah.

Wallahu’alam bish shawab.
[El/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis