Bijakkah Membebaskan Napi di Tengah Pandemi?
Oleh : Aminah Darminah
(Muslimah Peduli Generasi)
LensaMediaNews – Di tengah wabah virus Corona, dan penularan semakin meluas, serta jumlah korban yang terus bertambah. Bahkan tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam penanganan virus ini telah banyak menjadi korban.
Lantas kondisi ini diperparah dengan krisis ekonomi, PHK di mana-mana, lapangan pekerjaan yang semakin minim. Anehnya para napi yang jelas-jelas pelaku kejahatan malah dibebaskan.
Masyarakat dua kali lipat merasakan kekhawatiran, di satu sisi khawatir dengan penyebaran virus, di sisi lain khawatir dengan keselamatan nyawa dan harta dari pelaku kejahatan.
Ada 35 ribu lebih napi tindak pidana umum yang bebas, dengan program asimilasi dan integrasi sejak 30 Maret. Sejumlah napi berulah lagi dan kembali melakukan pidana usai dibebaskan. Pelaksana tugas Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Nugroho meminta masyarakat tidak perlu cemas, ia menjamin napi tersebut dalam pengawasan petugas. (kumparanNEWS, 10/4/20).
Kebijakan membebaskan napi, pada masa pandemi saat ini, justru menimbulkan masalah baru, sebab tidak ada jaminan mantan napi yang dibebaskan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Terbukti di Bali pria bernama Ikhlas alias Iqbal (29), dibebaskan 2 april, ditangkap tanggal 7 april karena menerima paket ganja 2kg.
Di Sulawesi Selatan pria bernama Rudi Hartono, kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri rumah warga. Di Blitar, MS ditangkap dan babak belur kepergok mencuri motor warga. Menurut Guru Besar Hukum Pidana, Universitas jenderal Sudirman Prof Hibnu Nugrogo, menilai kegagalan tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, belum menyiapkan kontrol para napi hanya sekedar membebaskan. (KumparanNEWS, 9/4/2020).
Sejak awal kemunculan virus Corona di negeri ini, kebijakan yang diambil penguasa cenderung membingungkan rakyat. Alasan over kapasitas lapas, hanyalah upaya cuci tangan penguasa, untuk menghindari kewajiban politik mengurusi rakyatnya. Penguasa diuntungkan dengan pembebasan 30.000 napi, karena bisa menghemat pengeluaran negara sebesar Rp260 miliar.
Begitulah tabiat penguasa di dalam sistem kapitalis, hanya mencari keuntungan tanpa memikirkan keselamatan dan nasib rakyatnya. Kalau alasan membebaskan napi karena over kapasitas, untuk menghindari penyebaran virus Corona, bisa dicari alternatif lain, misalnya para napi ditempatkan di gedung-gedung yang tidak terpakai.
Tanpa harus mengeluarkan para napi dari penjara, yang justru membuka peluang kejahatan. Hukuman yang diberikan, tidak memberikan efek jera, sebab hukuman yang diterima para napi terlalu ringan, antara pencuri ayam, pencuri sandal dengan korupsi ratusan juta hukuman yang diterima hampir sama.
Begitupun pelaku pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dengan kekerasan mendapat hukuman yang ringan tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Wajar, sebab hukuman yang diterapkan bersumber dari UU buatan manusia.
Berbeda dengan Islam, hukuman yang diberikan dalam rangka memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat, sekaligus menghapus hukuman pelaku kelak di akhirat. Dalam kitab Nidzam al Uqubat dan Ahkam al- Bayyinat, karya Abdurrahan al Maliki dijelaskan, hukuman bagi pencuri seperempat Dinar dipotong tangannya, had pembunuhan yang disengaja, wajib dijatuhi qishas yaitu membunuh si pembunuh. Had bagi meminum khamar dijilid 40kali.
Dalam kondisi negara yang sedang menghadapi bencana seperti saat ini, tentu tidak bijak jika penguasa justru sibuk mengeluarkan para napi, dan akhirnya harus mengerahkan tim keamanan untuk mengawasi mantan napi. Akan menambah tugas dan beban negara, lebih baik fokus, mengerahkan energi untuk menghadapi musibah ini.
Belajar dari para sahabat, sebut saja Umar Bin Khattab yang merupakan salah satu dari Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan Umar ra, layak dijadikan teladan, termasuk tentang bagaimana ketika Umar menghadapi wabah yang menyerang rakyatnya. Pada masa paceklik dan kelaparan, Amirul Mukminin Umar juga segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl, hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total.
Kemudian dia mengirimkan surat kepada dua gubernur untuk memberikan bantuan kepada wilayah yang sedang mengalami paceklik dan kelaparan. Bantuan pun datang hingga terpenuhi kebutuhan rakyat dan terbebas dari kelaparan. Begitulah para sahabat mengurusi rakyat di masa sulit. tidak pernah berfikir untung dan rugi.
Kerusakan sistem kapitalis nyata di depan mata, akankah terus mempertahankan sistem yang rusak ini? Sementara ada alternatif yang lain, sudah terbukti 13 abad mampu membawa tatanan dunia menjadi maju dan sejahtera. Saatnya kita kembali kapada tatanan kehidupan warisan Risulullah saw, agar kehidupan kita dipernuhi keberkahan.
Wallahual’alam.
[el/LM]