Kontroversi Pembebasan Narapidana
Oleh: Rusdah
Aktivis Dakwah dan Pemerhati Remaja
LensaMediaNews— Penyebaran virus covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih belum dapat dihentikan. Sejak kasus pertama positif corona ditemukan, tercatat hingga 10 April 2020 terdapat 3.512 orang positif, 306 orang diantaranya meninggal dunia dan 282 pasien dinyatakan sembuh (tirto.id 10/04/2020).
Tingginya tingkat penyebaran virus covid-19 ini membuat pemerintah pusat membuat berbagai kebijakan dengan harapan dapat menekan angka positif corona, mulai dari menerapkan social dan physical distancing, kemudian adanya wacana penetapan status darurat sipil, hingga diganti dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), namun masih enggan menerapkan lockdown.
Penerapan PSBB tidak hanya diimbau bagi masyarakat yang masih bekerja di luar rumah, tetapi juga diperuntukkan bagi narapidana. Melihat dari kondisi lapas yang sangat sesak karena melebihi kapasitas, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly membuat program asimilasi dan integrasi dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 tahun 2020 guna mencegah penyebaran virus covid-19 di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) (tirto.id 01/04/2020).
Pada Sabtu, 04 April 2020 telah terdapat 30.432 narapidana dan anak yang bebas, daerah yang membebaskan warga binaan terbanyak adalah Sumatera Utara yaitu sebanyak 6.348 yang disusul Jawa Timur 2.524, Lampung 2.416, Jawa Tengah 2.003 dan Aceh 1.898.
Kemenkumham telah menargetkan sekitar 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak yang akan dibebaskan. Namun, untuk tindak pidana luar biasa seperti korupsi, terorisme dan nakotika belum dapat dibebaskan sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan (cnnindonesia.com 05/04/2020).
Kemenkumham pun berencana untuk merevisi PP Nomor 99 tahun 2012 dengan empat kriteria narapidana yang dapat dibebaskan yaitu narapidana narkotika yang telah menjalani 2/3 masa tahanan dari 5 sampai 10 tahun masa pidana. Kedua, narapidana korupsi yang berusia diatas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Ketiga, narapidana yang mengidap penyakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan dan keempat berlaku bagi narapidana WNA (cnnindonesia.com 05/04/2020).
Rencana revisi peraturan pemerintah ini menuai banyak kritik terutama dikalangan aktivis anti korupsi. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Fariz menolak pembebasan napi korupsi. Donald merasa bahwa revisi PP Nomor 99 tahun 2012 merupakan kelanjutan dari agenda lama yang belum terealisasi oleh Yasonna di tahun 2015 lalu untuk mempercepat pembebasan para koruptor (kompas.com 05/04/2020).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. turut menolak usulan revisi dari Menteri Hukum dan HAM tersebut. Beliau menyatakan bahwa sel yang ditempati narapidana korupsi tidak berhimpit-himpitan seperti halnya sel yang dihuni narapidana umum, sehingga masih bisa melakukan social distancing. (kompas.com 05/04/2020).
Alasan yang kurang masuk akal untuk pembebasan napi koruptor menimbulkan banyak spekulasi di tengah-tengah masyarakat. Terdapat dugaan bahwa wabah covid-19 ini hanya dimanfaatkan oleh beberapa kalangan untuk meringankan hukuman para koruptor yang telah diwacanakan beberapa tahun yang lalu.
Sekalipun Kemenhumkam telah membuat klaim bahwa kebijakan untuk membebaskan narapidana mampu menghemat anggaran negara sebanyak 260 miliar, namun belum tentu anggaran tersebut dialokasikan untuk membantu pahlawan di garda terdepan demi melengkapi alat perang mereka. Maka wajar jika banyak kalangan yang menolak revisi PP Nomor 99 tahun 2012 tersebut.
Sistem peradilan dalam ideologi kapitalisme terbukti tidak memberikan efek jera kepada orang-orang yang melakukan kriminal. Hal ini terlihat dari berita-berita di situs resmi yang mengabarkan bahwa para napi yang baru saja dibebaskan kembali melakukan tindakan kriminal seperti mencuri motor, mencuri rumah seorang warga, dan menjadi bandar narkoba.
Keresahan warga pun semakin bertambah, bukan hanya khawatir dengan penyebaran virus covid-19, tetapi juga khawatir akan adanya tindakan kriminal di sekitar mereka. Keputusan untuk membebaskan puluhan ribu napi di tengah wabah pandemi terlihat kurang tepat.
Sebab, pembebasan puluhan ribu napi yang belum mendapatkan bekal yang cukup untuk menjadi pribadi yang lebih baik justru akan melahirkan masalaha baru, kriminalitas akan meningkat, sedangkan perekonomian kian memburuk. Selain itu, wabah virus covid-19 seperti menjadi peluang untuk membebaskan para koruptor yang telah merampas miliaran uang rakyat.
Padahal, narapidana koruptor telah dikarantina agar jauh dari jangkauan orang lain sehingga mampu terhindar dari penyebaran virus corona. Berbeda dengan sistem peradilan yang diterapkan oleh negara Islam. Hukuman yang diberikan kepada pelaku kriminal pasti memberikan efek jera sehingga mereka takut melakukan kesalahan yang sama, misalnya hukum potong tangan bagi para pencuri, hukum cambuk bagi pelaku zina yang belum nikah dan rajam bagi yang sudah nikah.
Sanksi di dalam Islam tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga dapat menghapus dosa atas tindakan yang dilakukannya ketika telah menyadari kesalahan tersebut. Sanksi seperti inilah yang akan menekan tindakan kriminal di suatu negara, terbukti dari 13 abad lamanya hanya sekitar 200 kasus jinayat yang terjadi, sangat jauh berbeda dengan jumlah kriminal di negara kapitalis.
Terlihat menyeramkan memang sanksi yang diterapkan dalam negara berlandaskan Alquran dan As Sunnah saat itu jika dibandingkan dengan sistem peradilan di negara kapitalisme. Namun, perlu kita ketahui bahwa penerapan sanksi hukum selama 13 abad tersebut sejalan dengan sistem ekonomi, sosial, pendidikan, dan sistem habblum minannas lainnya.
Sistem yang dijalankan pada masa tersebut sangat mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat, kemudahan dalam mencari pekerjaan dan menempuh pendidikan agar menjadi generasi emas. Sehingga sangat minim sekali terdapat warga yang melanggar peraturan. [LN/LM]