Pembebasan Napi demi Cegah Corona, Logiskah?
Oleh: Iiv Febriana
(Pengajar dan Aktivis Muslimah Rindu Syariah, Sidoarjo)
LensaMediaNews – Di tengah isu Corona yang semakin meresahkan muncul polemik di tengah masyarakat terkait pembebasan narapidana (Napi) yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Corona di lapas. Bahkan muncul pembelaan bahwa ini dilakukan agar negara mampu menghemat hingga 260 Miliar anggaran yang diperuntukkan untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Telah diberitakan sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19) di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Yasonna merinci setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut. Salah satunya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan, sebanyak 300 orang (Cnnindonesia, 02/04/2020).
Jika perppu itu direvisi, Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis daftar narapidana kasus korupsi kelas kakap yang kemungkinan bebas, di antaranya terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto dan mantan Hakim Konsitusi Patrialis Akbar (Tempo, 03/04/2020).
Kebijakan Tak Logis
Pembebasan narapidana dengan alasan mencegah penyebaran virus Corona di lapas merupakan kebijakan nyleneh. Saat ini rakyat sedang diperintah untuk di rumah saja, tapi mereka justru dibebaskan. Mencegah penularan Corona seharusnya bukan dengan membebaskan narapidana. Karena dengan berada di lapas, mereka secara otomatis sudah dilockdown, mereka aman di dalam isolasi. Justru ketika dibebaskan dan melakukan kontak di luar, mereka akan lebih berpotensi tertular virus Corona dan akan semakin menambah beban.
Alasan over kapasitas lapas hanyalah upaya cuci tangan rezim untuk menghindari kewajiban politik mengurusi rakyatnya. Jika masalahnya adalah kondisi lapas yang over kapasitas, negara seharusnya mencari tempat untuk menampung para narapidana tersebut dan memungkinkan physical distancing. Dengan kondisi ekonomi yang melemah justru mereka berpotensi besar melakukan tindak kriminalitas.
Kebijakan Negara Memihak Para Kapital
Telah terbukti sejak awal munculnya Corona, negara banyak melakukan kelalaian. Hingga saat ini tidak ada keputusan pemerintah melarang pendatang dari China masuk ke Indonesia, dengan dalih sudah melakukan pengamanan dan cek suhu di bandara maupun pelabuhan. Padahal riset terkini yang dimuat di The Lancet, menunjukkan penderita infeksi 2019-nCoV bisa menunjukkan gejala ringan bahkan tanpa gejala sama sekali. Karena begitu sulitnya mendeteksi pengidap infeksi Corona maka yang harus dilakukan pemerintah adalah pencabutan visa bebas kunjung bagi warga negara China.
Ketika APD langka, negara malah mengimbau warganya untuk berdonasi. Menjanjikan subsidi untuk rakyat, ternyata dana pinjaman IMF. Mau membangun rumah sakit khusus Corona tapi lokasinya jauh dari pasien. Kini narapidana dibebaskan, koruptor dibiarkan melenggang.
Dalam kondisi darurat seperti saat ini pemimpin seharusnya optimal dalam mengurusi rakyat. Pemimpin tak boleh bersikap sebagai pedagang yang selalu menggunakan hitung-hitungan untung-rugi materi ketika mengurusi rakyatnya.
Khilafah terbukti berhasil mengatasi wabah bahkan sebelum menjadi pandemi. Dengan lockdown dan jaga jarak, wabah teratasi. Menggratiskan pangan dan layanan kesehatan, tidak perlu meminta donasi. Memprioritaskan nyawa manusia diatas kepentingan ekonomi. Negara juga mengkampanyekan pola hidup bersih dan sehat melalui sistem pendidikan dan media. Semua ini bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam yang kaffah melalui institusi Khilafah.
Wallahu a’lam bishshowab.
[ah/LM]