Perundungan yang Terus Terulang

Oleh : Mariyatul Qibtiyah, S.Pd

Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

 

 

LensaMediaNews— Kasus perundungan di Indonesia ibarat sebuah gunung es. Tampak sedikit di permukaan, tetapi jumlah sebenarnya jauh lebih besar dari itu. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan. (republika.co.id, 10/02/2020)

 

Kasus perundungan yang terbaru adalah kasus perundungan yang terjadi di salah satu SMP di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dalam kasus ini, tiga orang pelajar melakukan penganiayaan terhadap seorang siswi yang merupakan teman sekelasnya. Salah satu pelaku merekam kejadian ini. Menurut pihak sekolah, kejadian terjadi saat pergantian jam pelajaran, sehingga saat itu kelas kosong dan tidak ada guru. Korban yang dianiaya adalah siswi berkebutuhan khusus. Tiga siswa tersebut telah ditetapkan menjadi tersangka dan kini mereka berada di Mapolres Purworejo. (tribunnews.com, 14/02/2020)

 

Kasus ini tentu mengundang keprihatinan. Sebagai generasi muda, mereka adalah calon-calon pemimpin di masa depan. Seharusnya, mereka memiliki rasa kasih sayang kepada sesama. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka justru memperlakukan orang lain secara tidak terpuji. Mengapa hal ini terjadi?

 

Dokter Spesialis Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Prof. dr. Djauhari Ismail, Ph.D., Sp.A(K) mengatakan bahwa remaja mengalami tumbuh kembang secara fisik saat memasuki masa puber, perubahan kemampuan kognitif dan mengalami perubahan psikososial remaja dimana terjadi konflik pencarian jati diri. Bila proses pencarian jati diri ini gagal, yang terjadi adalah remaja mulai meragukan peranan dan fungsi dirinya di tengah masyarakat. Sifat yang muncul akhirnya menonjolkan diri, suka bermusuhan, egoistik, merendahkan orang lain, dan buruk sangka. Sebaliknya, jika berhasil, remaja mampu menyesuaikan diri, diterima, simpati, bekerja sama, mudah akrab, dan disiplin. (ugm.ac.id, 03/03/2015)

 

Dari sini bisa dipahami bahwa munculnya kasus perundungan karena adanya proses pencarian jati diri yang tidak tepat. Ketidaktepatan ini sebagai akibat dari pola pikir yang tidak tepat pula. Pola pikir yang tidak tepat ini dihasilkan dari kurikulum pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Kurikulum yang berlandaskan pada sistem sekular yang memisahkan agama dari kehidupan.

 

Materi pelajaran diberikan sebatas sebagai pengetahuan. Termasuk materi pelajaran agama ataupun budi pekerti. Maka, yang diukur hanya sisi akademisnya. Sedangkan penerapannya tidak pernah diperhatikan. Akibatnya, perilaku mereka sering kali jauh dari nilai-nilai moral atau agama. Sebab, perilaku mereka tidak dilandaskan pada ajaran moral dan agama yang mereka peroleh di sekolah.

 

Allah SWT telah menciptakan manusia beserta naluri yang ada pada dirinya. Salah satunya adalah naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Disebut naluri mempertahankan diri karena manifestasi dari naluri ini berupa aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya sebagai individu. Manifestasi itu di antaranya adalah rasa takut, marah, senang memiliki, cinta kelompok, cinta kehormatan, cinta kekuasaan, dan lain-lain.

 

Saat Allah menciptakan naluri manusia, Allah juga memberikan seperangkat aturan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan nalurinya. Jika naluri ini senantiasa diarahkan oleh keimanan kepada Allah SWT, maka manusia akan memenuhi nalurinya dengan cara yang benar. Demikian pula saat memenuhi naluri mempertahankan diri.

 

Dengan tuntunan keimanan ini, manusia akan memenuhi keinginannya untuk memiliki segala sesuatu sesuai aturan-Nya. Ia tidak akan mencuri, merampas, dan cara buruk lainnya. Begitu pula, saat memenuhi hasratnya untuk berkuasa, saat marah, dan sebagainya. Semua sesuai dengan aturan-Nya. Dengan aturan itu, manusia tidak akan merugikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Sebab, aturan dari Allah SWT. adalah aturan yang paling tepat untuk manusia.

 

Karena itu, sudah seharusnya generasi muda dididik dengan landasan keimanan kepada Allah SWT. Pendidikan yang berlandaskan keimanan ini harus dimulai sejak dini. Dengan demikian, pola pikir dan pola sikap yang islami akan terbentuk sejak dini pula. Tentu saja, peran keluarga sangat dibutuhkan di sini.

 

Di samping itu, peran negara juga sangat dibutuhkan. Negaralah yang berwenang dalam menentukan kurikulum pendidikan yang hendak diterapkan. Dengan kurikulum itu, tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian islami akan terwujud.

 

Masyarakat tempat kita tinggal juga tidak kalah pentingnya. Dari masyarakatlah, generasi muda kita belajar bersosialisasi serta menyelesaikan masalah. Masyarakat juga menjadi alat kontrol bagi perilaku mereka.

 

Dengan pendidikan yang berlandaskan Islam di rumah dan sekolah, serta kontrol dari masyarakat, akan memudahkan kita dalam mewujudkan generasi idaman. Generasi yang akan mengembalikan kejayaan dan kemuliaan Islam. Semua itu akan terwujud dalam sebuah sistem Islam. Yaitu, sistem yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. serta para khalifah penggantinya. Wallaahu a’lam bishshawaab. [Hw/Lm]

Please follow and like us:

Tentang Penulis