Influencer dan Buzzer Pembentuk Opini Semu
Oleh: Mukhy Ummu Ibrahim
(Member Akademi Menulis Kreatif)
LensaMediaNews— Presiden Jokowi dikabarkan akan mendatangkan para buzzer dan influencer untuk mengatasi permasalahan lesunya pariwisata akibat menyebarnya wabah virus Corona. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya 72 miliar dana tengah disiapkan untuk tujuan tersebut. (cnnindonesia.com, 26/02/2020)
Influencer merupakan orang yang dapat memberi pengaruh di masyarakat ini nantinya diharapkan dapat membantu mempromosikan pariwisata kita melalui berbagai platform media sosial semacam YouTube, Instagram, Twitter, dan lain-lain.
Aksi Presiden Jokowi ini menjadi sorotan karena alih-alih mengupayakan solusi yang lebih komprehensif dengan berkoordinasi dengan staf ahli kepresidenan, Jokowi lebih memilih merangkul kalangan di luar istana. Sebelumnya pun, para relawan dan pendukungnya telah sering menyambangi istana guna mendiskusikan berbagai isu penting pemerintahan.
Hal ini seperti disampaikan oleh Direktur Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi kerap mengundang relawan atau pendukungnya untuk membicarakan keputusan politik penting. Seakan tidak ada kepercayaan kepada para pembantu formalnya dari jajaran pemerintahan. (nasional.tempo.co, 24/2/2020)
Tindakan pemerintah ini dilakukan dalam upayanya menyulap aneka kebijakan hingga terkesan positif dengan dukungan para pendukungnya. Ditambah lagi peran buzzer dan influencer yang bertugas membentuk opini di masyarakat tentang aneka kebijakan yang dianggap sesuai meski fakta menunjukkan sebaliknya. Sementara itu suara-suara kritis dari berbagai kelompok yang berbeda pandangan pun dipinggirkan.
Tidak mengherankan memang. Pencitraan, propaganda dan pembentukan opini menjadi keniscayaan dalam negara demokrasi yang memang penuh cacat sana sini. Maka untuk memoles rupa buruknya, berbagai upaya itu pun menjadi cara andalan. Menciptakan wajah semu agar publik pun teryakinkan. Menganggap pemerintah nyaris selalu benar dalam tiap kebijakan.
Padahal, jelas tidak demikian. Pengurusan urusan rakyat dalam demokrasi itu, faktanya semu. Kebijakan-kebijakan pemerintah hanyalah demi mengakomodir kepentingan segelintir elit yang punya kapital. Yaitu mereka yang menjadi penyuplai modal demi naiknya para politisi ke tampuk kekuasaan. Dan juga yang berperan menyumbang dana besar saat Pemilu demokrasi tengah dilaksanakan.
Rakyat pun tak pernah mendapat prioritas. Walhasil, banyak hajat rakyat yang tak terurus atau pengurusannya carut marut. Bagaimana tidak? Saat prioritas telah bergeser pada kepentingan pemodal yang ingin mencari keuntungan, urusan rakyat pun terabaikan.
Maka, demi meredam gejolak rakyat yang menuntut tanggung jawab pemerintah akan pengurusan urusan rakyat yang amanah, dibuatlah opini-opini artifisial. Opini buatan yang mengesankan pemerintah selalu benar dan nyaris tak pernah salah.
Dari masa ke masa, rezim tiran demokrasi selalu mempunyai cara untuk membentuk opini di tengah masyarakatnya. Dan di era milenial ini, sosial media pun menjadi banyak berperan dalam pembentukan opini publik. Hingga peran para buzzer dan influencer pun menjadi krusial.
Pembentukan opini sejatinya tidaklah perlu dilakukan jika pemerintah memiliki kinerja yang benar. Jika negara dapat mengatasi setiap permasalahan dengan solusi nyata, niscaya gejolak di masyarakat tak akan pernah ada kecuali sedikit saja.
Hal yang demikian niscaya tidak akan pernah terjadi pada pemerintahan yang menerapkan sistem Islam. Sebab dalam pemerintahan Islam pengurusan urusan rakyat akan selalu menjadi prioritas terdepan. Pemimpin Islam akan mengupayakan dengan maksimal agar tak ada satu pun permasalahan yang terabaikan atau salah pengurusan. Rakyat yang puas dengan kinerja pemimpin dan jajaran pemerintahannya pun akan jauh dari gejolak.
Meskipun demikian, dengan sifat dasar manusia yang bisa saja khilaf dan melakukan kesalahan, kemungkinan terjadi kelalaian dan penyimpangan tentu ada saja. Oleh karena itu, dalam sistem Islam terdapat apa yang disebut sebagai Majelis Ummat. Majelis ini merupakan perwakilan umat Islam dan non muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Fungsi utamanya adalah menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol/ muhasabah.
Aktivitas tersebut tentu dilaksanakan agar ketika terjadi kelalaian dapat langsung dilakukan upaya koreksi. Dan setiap masalah yang hadir dapat segera dicarikan solusi.
Dengan mekanisme muhasabah ini, maka jalannya pemerintahan akan senantiasa berada pada koridor yang benar. Sehingga urusan rakyat pun dapat dengan maksimal diupayakan. Sehingga kesejahteraan pun akan menjadi keniscayaan.
Lalu kenapa kita masih mempertahankan sistem yang penuh polesan bahkan kebohongan ini di saat kesejahteraan menanti di bawah naungan sistem sempurna dari Ilahi?
Wallahu a’lam bishshawab. [LM]