RUU Ketahanan Keluarga, Jurus Efektif Tangkal Krisis Perceraian?

Oleh: Kunthi Mandasari

 

LensaMediaNews— Miris, bertambahnya tahun justru diikuti dengan peningkatan angka perceraian. Tak tanggung-tanggung, dengan total nyaris setengah juta janda baru lahir di tahun 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri (m.detik.com, 28/02/2020).

 

Masih dari sumber yang sama, berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019, perceraian tersebar di dua pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan non muslim.

 

Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan.

 

Dengan banyaknya kasus perceraian menyisakan banyak permasalahan. Baik berupa materi maupun non materi. Yaitu penetapan hak asuh anak ataupun eksekusi nafkah bagi anak serta mantan istri.

 

Oleh karenanya, RUU Ketahanan Keluarga dianggap penting untuk menangkal krisis keluarga. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 74 ayat 3c. Pemerintah daerah juga wajib melaksanakan penanganan krisis keluarga karena perceraian dalam Pasal 78 RUU Ketahanan Keluarga.

 

RUU Ketahanan Keluarga dianggap sebagai solusi untuk permasalahan keluarga. Meskipun ada banyak pro maupun kontra yang menyertai. Bahkan ada tudingan, draft RUU Ketahanan Keluarga dituduh memiliki upaya memasukkan ideologi agama tertentu pada RUU ini.

 

Padahal krisis ketahanan pada keluarga tidak akan selesai hanya dengan RUU KK. Karena akar permasalahannya bukan hanya terletak pada rumah tangga, tetapi akibat penerapan sistem sekuler. Sistem yang meniadakan keberadaan Allah sebagai pencipta. Menyembah pada aturan manusia yang banyak celahnya. Aturan yang mendewakan kebebasan. Membebaskan manusia berbuat sesuka hatinya. Padahal setiap orang memiliki tolak ukur yang berbeda.

 

Ideologi kapitalis menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan. Maka tak heran jika keluarga dalam sistem sekuler kapitalistik rentan dengan perceraian. Mengingat ekonomi sulit didapatkan. Kekayaan hanya berputar pada segelintir orang. Mencari pekerjaan susah, gelombang PHK merebak, berbagai pajak di segala lini terutama bagi kalangan menengah ke bawah, harga kebutuhan tak murah serta berbagai kebutuhan lainnya yang turut memberatkan. Sedangkan lapangan pekerjaan yang tercipta justru lebih banyak untuk perempuan. Alhasil, bukan hanya urusan dapur yang sulit terpenuhi, tetapi juga peran sebagai pasangan maupun orang tua sering terabaikan. Maka tak heran jika akhirnya perpisahan menjadi jalan yang dianggap paling memungkinkan.

 

Padahal Islam membangun ketahanan keluarga dengan asas akidah. Melalui ketakwaan bagi setiap anggota keluarga. Menjadikan ridha Allah sebagai standar kebahagiaan. Alhasil, setiap orang melaksanakan kewajibannya sesuai peran masing-masing dengan penuh kesadaran

 

Selain itu, negara yang menerapkan Islam secara kafah akan mengatasi seluruh permasalahan yang ada. Sendi ekonomi dengan penerapan ekonomi syariah yang bebas riba, pengelolaan SDA yang tepat guna serta distribusi yang merata akan memberikan kesejahteraan dan keberkahan. Tak perlu adanya RUU KK, tetapi cukup dengan kembali menerapkan syariah-Nya ketahan keluarga akan tercipta dengan sendirinya.

Wallahu’alam bishshawab. [LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis