Proyek Sawah Cina Untuk Sukses Swasembada?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

Lensa Media News–Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan usai bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-Republik Rakyat China (RRC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur mengatakan meminta agar Cina melakukan transfer teknologi sawah padi yang bakal diterapkan di lahan 1 juta hektare di Kalimantan Tengah (voaindonesia.com, 27/4/2024).

 

Alasannya China sudah sangat sukses swasembada, dan mereka bersedia membantu Indonesia. Program ini bertahap di awali dari lahan seluas satu juta hektare di Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah. Pemerintah pun berencana menggandeng mitra lokal setempat dalam proyek ini. Dan off takernya adalah Bulog.

 

Teknologi dari Negeri Tirai Bambu diharapkan juga bisa berhasil dengan baik memperbaiki keadaan Indonesia yang selama ini masih saja mengimpor beras dari negeri tetangga hingga jutaan ton setiap tahunnya, selanjutnya Indonesia bisa mencapai swasembada beras.

 

Proyek Sawah Cina, solusi ketahanan pangan Indonesia?

 

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori berpendapat bahwa mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain adalah langkah yang sah. Namun, ia berpendapat pemerintah perlu memastikan bahwa teknologi tersebut sesuai dan dapat diaplikasikan dengan baik di dalam negeri. Baik adaptasi iklim/cuaca, sifat tanah, dan hama penyakit demikian juga roses adaptasi bisa lama bisa pendek.

 

Bahkan Khudori memandang pemerintah perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan para pakar pertanian nasional untuk mengurangi risiko kegagalan.

 

Demikian pula dengan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa berpendapat, wacana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina terlalu luas (tempo.co, 23/4/2024).

 

Andreas mengatakan mungkin sebaiknya sedikit lahan dulu, jika sukses bisa ditambah secara bertahap. Food estate yang sudah dirintis 25 tahun lalu, tepatnya sejak Presiden Soeharto, hasilnya gagal padahal sudah berjuta hektare tanah yang digarap. Hal ini karena pemerintah belum konsisten dalam melakukan pembenahan. Riskan ketika setiap ganti pemimpin maka ganti pula kebijakannya atau terlalu banyak pindah lokasi.

 

Indonesia sebenarnya dari sisi kualitas benih sudah ada beberapa yang dikembangkan dan hasilnya cukup menjanjikan kalau dari sisi teknologi tambah Andreas. Pendapat para ahli di atas mewakili kepedihan rakyat terutama petani.

 

Negara yang awalnya berjuluk negara agraris kini harus mengadaptasi teknologi pertanian dari negara China. Bukankah awalnya para petani kita adalah petani yang unggul, berbagai hasil pertanian bisa dihasilkan, seolah semua tak berbekas. Hilang sudah muruah (kemuliaan) negara terutama petani.

 

Sudahlah kesejahteraannya tidak terwujud akibat salah aturan dan abainya pemerintah terhadap nasib petani dan pertanian, jika bisa serius bukan tak mungkin Indonesia bisa kembali menyandang julukan negara agraria, apalagi di dukung oleh kekayaan alam yang berlimpah dan beragam jenisnya.

 

Proyek Sawah Cina ditujukan untuk swasembada beras atau solusi penyediaan lumbung pangan. Sama dengan proyek sebelumnya, selalu mengalami kegagalan, pertanyaannya begitu banyak program yang digagas, siapa yang diuntungkan?

 

Pertanyaan lainnya, mengapa mitigasi kegagalan membangun lumbung pangan justru tidak dilakukan dan membangun kembali komunikasi yang efektif dengan petani lokal, sehingga kedua belah pihak bisa sama-sama mendapat solusi dari problem pertanian umumnya dan ketahanan pangan berkelanjutan khususnya.

 

Nasib petani tak lebih baik dari hari ke hari, banyak petani yang mengalami kegagalan dan meninggalkan lahan atau dijual. Tak heran banyak petani yang gantung cangkul dan mencari profesi lain yang samasekali asing baginya.

 

Cabut Kapitalisme Terapkan Islam

 

Kesalahan aturan yang diterapkan berakibat luar biasa terhadap ketahanan pangan di negeri ini. Bandingkan dengan negara yang tak memiliki lahan seperti Singapura, mereka kaya raya hanya dengan membeli minyak bumi, mengelolanya kemudian menjualnya kembali. Sementara Indonesia tongkat kayu dan batu jadi tanaman begitu miskin dan mengiba pada negara kafir.

 

Islam menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah, dan tidak sekedar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan. Mekanisme pemenuhannya dengan mendorong rakyat bisa bertani dengan jaminan teknologi mudah diakses, permodalan ditanggung negara, intinya negara bertanggung jawab penuh membantu petani.

 

Pertanian adalah persoalan strategis. Bisa melemahkan atau menguatkan, jika dikelola secara serius oleh negara maka akan memberikan keberkahan berlimpah, sebaliknya jika menjalin kerjasama dengan asing tanpa memperhatikan status negara tersebut apakah memusuhi Islam dan kaum muslim, negara harus memperhatikan politik luar negeri yang ditetapkan Syari’ (Allah swt. sebagai pembuat hukum).

 

Jika negara tersebut secara riil menjadikan Alquran dan As Sunah sebagai pedoman maka tidak akan keluar kesepakatan dengan negara yang memusuhinya apapun bentuknya, sebab ketergantungan pada modal swasta dan asing itu sangalah berbahaya, di antaranya menjadikan negara kita sebagai jajahan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis