Toleransi, Mampukah Mewujudkan Kerukunan Beragama yang Hakiki?
Oleh : Punky Purboyowati S. S
(Komunitas El Mahira, Jombang)
LensaMediaNews – Gaung ‘toleransi beragama’ semakin menggema. Perlunya toleransi ini ada agar terwujud kerukunan beragama. Sebagian kalangan mengusulkan agar toleransi beragama bukan sekadar wacana namun perlu direalisasikan. Salah satunya dengan membangun terowongan yang dapat menghubungkan kedua tempat ibadah, yaitu Istiqlal dan Gereja Katedral. Rencananya terowongan tersebut diproyeksikan sebagai ikon toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebaliknya, menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral tidak mengurangi urgensi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia mengapresiasi rencana pembangunan terowongan itu sebagai simbol pemajuan toleransi dan perjumpaan lintas identitas.
Namun, hal tersebut semestinya dibarengi dengan penyelesaian masalah yang melampaui simbol dan fisik. Publik sebelumnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Joko Widodo di periode pertamanya bagi kemajuan toleransi, kebebasan beragama, dan berkeyakinan. Namun, nyatanya hal itu masih menjadi persoalan sampai Jokowi memimpin di periode keduanya. Ada 3 persoalan yang semestinya bisa ditangani di level negara, yaitu regulasi, kapasitas aparat, dan penegakkan hukum. (tempo.co.id, 7/2/2020).
Toleransi merupakan jalan tengah atau upaya mengkompromikan sesuatu agar dapat diterima. Dalam Demokrasi, memandang semua agama benar (Pluralisme). Pluralisme memberi kebebasan berpikir seseorang, toleransi agama, dan toleransi budaya. Kebenaran sebuah agama adalah relatif dan subjektif yaitu tergantung pada pemikiran pemeluk agama masing-masing. Semua agama menganjurkan agar setiap pemeluk agama berbuat baik. Pluralisme muncul karena adanya perbedaan agama. Perbedaan pernyataan ini dapat memicu terjadinya konflik horisontal, perang atas nama agama, dan penindasan atas nama agama. Maka, mampukah toleransi mewujudkan kerukunan beragama yang hakiki?
Toleransi dalam Demokrasi hanyalah ilusi. Sebab, sekadar simbol namun tak ada wujud nyata yang menunjukkan toleransi yang sesungguhnya. Pembangunan terowongan antara Istiqlal dan Katedral sebagai simbol toleransi beragama adalah wujud keberpihakan pemerintah pada liberalisasi beragama yang tak layak dijadikan sebagai simbol. Sebab, hakikinya umat beragama memiliki batasan-batasan akidah yang wajib dijaga kemurniannya.
Maka, kebijakan membuat terowongan perlu diwaspadai. Kebijakan ini akan memperlebar kampanye pluralisme agama yang digaungkan oleh kaum liberal yang berfikir bebas. Dan berbahaya bagi masa depan umat Islam. Umat Islam tak mampu bangkit sebab akidahnya telah ternodai oleh pemikiran liberal yang merusak. Di sisi lain, justru akan menambah pekerjaan baru umat Islam yang sebenarnya tak perlu dilakukan. Terlebih menambah beban umat Islam terhadap kajian-kajian yang jauh dari ajaran Islam yang murni.
Mestinya, negara yang menginginkan kerukunan beragama tak perlu sejauh itu. Sebab tidak dicontohkan dalam ajaran Islam yang murni. Dalam Islam, kerukunan beragama hanya bisa diwujudkan dengan berpegang teguhnya umat Islam pada ajaran Islam yang murni yang tak mudah diadu domba dan tegas terhadap orang kafir.
Seperti yang dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurtubi/14:425).
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat 1-6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah. Allah SWT berfirman: “ Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Kemudian, dalam Alquran surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.”
Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertoleransi pada orang non muslim. Namun, sikap toleransi tidak boleh dalam hal yang menyangkut akidah. Dan hal itu hanya bisa diwujudkan sebagai aturan hidup bernegara. Yang hakikinya diwujudkan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw.
Wallahu a’lam bisshowab.
[Hw/LM]