Oleh: KH Hafidz Abdurrahman dan M. Shiddiq Al-Jawy

 

#FIKIH

1. Menurut KH Hafidz Abdurrahman
Rajab termasuk bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), selain Muharram, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi saw. bersabda,

صُمْ أَشْهُرَ الْحُرُم

Puasalah pada bulan-bulan Haram.” (HR Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1741)

Karena Rajab merupakan salah satu bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), maka puasa di bulan ini hukumnya sunah (mandub), sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Ibn Majah di atas.

Mengenai sebagian ulama yang menyatakan larangan puasa di bulan Rajab, baik yang mengatakan makruh ataupun haram, maka status hadis yang digunakan oleh mereka adalah hadis-hadis yang lemah.

Sebagai contoh, dari Ibn ‘Abbas ra. berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ رَجَب

Rasulullah saw telah melarang puasa Rajab.” (HR Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1743)

Di dalam isnad (jalur periwayatannya) terdapat Dawud bin ‘Atha’ yang disepakati kedhaifannya. Begitu juga hadis yang diriwayatkan oleh Kharasyah bin al-Hurr yang mengatakan,

رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ أَكِفَّ الرِّجاَلِ فِي صَوْمِ رَجَب، حَتَّى يَضَعُوْهَا فِي الطَّعَامِ، وَيَقُوْلُ: رَجَب مَا رَجَب؟ إِنَّمَا رَجَبُ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الإسْلاَمُ تُرِكَ

Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab memukul telapak orang-orang karena puasa Rajab, hingga mereka meletakkannya ke makanan. ‘Umar berkata, “Rajab, ada apa dengan Rajab?” Rajab itu adalah bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliah. Ketika Islam datang, maka ia telah ditinggalkan.” (HR at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 7632)

Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya terdapat al-Hasan bin Jabalah. Aku tidak tahu ada orang yang menyebutnya.” Jadi, statusnya jelas majhul (tidak dikenal).

Begitu juga hadis yang menjelaskan tentang Nabi saw. berpuasa sebulan penuh, di luar Ramadan, kecuali bulan Rajab dan Sya’ban (HR at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 9418)

Al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya ada Yusuf bin ‘Athiyyah as-Shaffar. Dia orang yang dhaif.” Dan banyak yang lain. Semuanya lemah, atau menipu, dan tidak bisa digunakan sebagai hujah.

Karena itu, hukum puasa Rajab tetap sunah (mandub) berdasarkan dalil umum tentang kesunahan puasa di bulan-bulan suci (asyhur hurum). Mengenai berapa hari yang disunahkan, apakah di awal, di tengah, di akhir, atau sebagian kecil, setengah atau sebagian besar bulan Rajab? Tidak ada ketentuan nasnya. Karena itu, kapan saja puasa di dalamnya hukumnya sunah.

Mengenai niat, niat bagian dari rukun dalam puasa, baik sunah maupun wajib. Karena ini merupakan ibadah. Dasarnya adalah hadis Nabi saw:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

Amal perbuatan [ibadah] bergantung pada niatnya.” [HR Bukhari]

Meski dalam pelaksanaannya bisa berbeda. Niat untuk puasa wajib, wajib dinyatakan di malam hari, atau sebelum terbit fajar. Sedangkan niat puasa sunah, boleh dinyatakan hingga pertengahan hari, jika mulai malam hingga fajar belum dinyatakan.

Meski ada juga ulama yang menyatakan, bahwa niatnya juga bisa dinyatakan meski hari telah melewati waktu zawal (matahari tergelincir), tengah hari.

Adapun satu niat puasa untuk dua puasa, misalnya puasa Ramadan sekaligus niat puasa sunah Senin dan Kamis, misalnya, karena kebetulan harinya hari Senin atau Kamis, maka niat seperti ini tidak sah. Begitu juga, niat puasa sunah Rajab sekaligus Senin atau Kamis, juga sama. Karena niat dalam ibadah adalah rukun, dan rukun tersebut berlaku untuk satu ibadah, tidak lebih. Puasa sunah Rajab adalah satu ibadah, sedangkan puasa Senin dan Kamis juga satu ibadah. Jika satu niat untuk dua ibadah, maka niatnya tidak sah.

Jadi, tetap niat wajib dinyatakan untuk satu ibadah. Puasa Rajab, Senin, Kamis atau yang lain. Masing-masing satu niat. Wallahu a’lam.

 

2. Menurut Ustaz M. Shiddiq Al-Jawy
Para ulama berbeda pendapat mengenai puasa sunah pada bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) dalam tiga versi.

Pertama, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, disunahkan berpuasa pada seluruh bulan haram.

Kedua, ulama Hanabilah hanya menyunahkan puasa bulan Muharram saja, berdasarkan sabda Nabi saw, “Salat paling utama setelah salat wajib adalah salat lail, sedang puasa paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa bulan Muharam.” (HR Muslim).

Ketiga, ulama Hanafiyah berpendapat yang disunahkan dari bulan-bulan haram hanya tiga hari pada masing-masing bulan haram, yaitu Kamis, Jumat, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/590; Abdurrahman Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 1/378; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/81; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 125 & 141).

Menurut kami, yang rajih/kuat adalah pendapat pertama yang menyunahkan puasa pada seluruh bulan haram, berdasarkan dalil umum yang ada dalam masalah ini.

(Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 6/386; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 152).

Dalilnya hadis dari Abu Mujibah Al Bahiliyah RA, dari ayahnya atau pamannya, “Aku pernah mendatangi Nabi saw lalu berkata, ’Wahai Nabi Allah, saya laki-laki yang pernah datang kepadamu pada tahun awal [hijrah].’ Nabi SAW berkata, ‘Lalu mengapa tubuhmu jadi kurus?i Dia menjawab, ‘Aku tak makan di siang hari, aku hanya makan di malam hari.’ Nabi SAW bertanya, ‘Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini kuat.’

Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadan), dan satu hari setelah Ramadan.’ Aku berkata, ‘Aku masih kuat.’ Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan sabar, dan dua hari setelah Ramadan.’ Aku berkata, ‘Aku masih kuat.’

Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan sabar, dan tiga hari setelah Ramadan, dan berpuasalah pada bulan-bulan haram.’” (HR Ibnu Majah no 1741; Abu Dawud no 2428, Ahmad no 20589).

Imam Syaukani menerangkan,”Dalam hadis ini terdapat dalil pensyariatan puasa pada bulan-bulan haram.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).

Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al Albani dalam Dha’if Abu Dawud menganggap lemah hadis di atas, karena terdapat ketidakpastian siapa nama periwayat hadis dari kabilah Al Bahilah itu. Namun Imam Syaukani tetap menguatkan hadis tersebut, dengan menukil pendapat Imam Mundziri yang menyatakan perselisihan nama sahabat semacam itu tak membuat cacat suatu hadis. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881; Wablul Ghamam Ala Syifa` Al Awam, 1/514).

Adapun dalil-dalil khusus yang mensyariatkan puasa di bulan Rajab, menurut para ulama hadis-hadisnya memang lemah (dhaif). Imam Syaukani meriwayatkan dari Ibnu Subki, dari Muhammad bin Manshur As Sam’ani yang berkata, “Tak ada dalil hadis yang kuat yang mensunnahkan puasa bulan Rajab secara khusus. Hadis-hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini berstatus wahiyah (sangat lemah) yang tak menggembirakan ulama.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).

Imam Syaukani mengatakan meski tak ada dalil khusus yang layak menjadi dasar puasa di bulan Rajab, namun dalil umum tentang anjuran puasa bulan-bulan haram tetap dapat diamalkan.

Jadi, puasa di bulan Rajab hukumnya tetap sunah, hanya saja sebaiknya tak berpuasa sebulan penuh, mengingat hadis Nabi SAW, “Berpuasalah kamu pada bulan-bulan haram dan berbukalah (diucapkan tiga kali), Nabi SAW lalu memberi isyarat dengan tiga jarinya, menghimpun tiga jari itu lalu menguraikannya.” (HR Abu Dawud, no 2428). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880). Wallahu a’lam.

 

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis