Cukai Makanan Berpemanis, Strategi Kaum Kapitalis
Oleh : Nelly, M.Pd
(Aktifis Peduli Negeri, Penulis, Pemerhati Masalah Keumatan)
LensaMediaNews – Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengusulkan ke DPR untuk melaksanakan penerapan cukai minuman berpemanis. Pihak DPR memang belum menyetujui usulan tersebut karena masih butuh road map. Sri Mulyani mengatakan, tujuannya adalah untuk mencegah penyakit diabetes yang mematikan. “Diabetes penyakit paling tinggi fenomena dan growing seiring meningkatnya pendapatan masyarakat,” jelas Sri Mulyani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Namun, menanggapi hal ini, para pengusaha menilai bahwa kebijakan tersebut tidak tepat sasaran. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman menyatakan, justru pengenaan cukai akan menaikkan harga dan menurunkan daya beli ditengah masyarakat.
“Kami pernah melakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan menurunkan daya beli masyarakat. Pada dasarnya belum ada data yang menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan PTM (Penyakit Tidak Menular) dan obesitas,” ujar Adhi saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (23/02/2020).
Jika ditelusuri dari satu sisi, kebijakan pemerintah ini bisa dianggap baik karena berusaha menjaga kesehatan rakyatnya dari bahaya penyakit diabetes akibat makanan atau minuman yang mengandung pemanis buatan. Akan tetapi, dilihat dari sisi lain, seyogianya bukan dengan menerapkan sebuah kebijakan yang malah akan membuat permasalahan baru dengan adanya ‘pemalakan’ melalui pajak makanan atau minuman tersebut.
Kebijakan ini harusnya perlu dikaji ulang, dilihat sisi efektifnya dan dampak yang akan ditimbulkan darinya. Jika memang pemerintah serius ingin menjaga kesehatan rakyat dari bahaya penyakit diabetes akibat pemanis buatan yang tidak sehat ini harusnya pemerintah mengambil kebijakan strategis lain.
Misalnya saja mencari alternatif pemanis yang aman dikonsumsi, melakukan edukasi dan penyuluhan sosialisasi pada masyarakat tentang bahaya pemanis buatan, memberi sanksi yang tegas dan berefek jera bagi para penjual makanan atau minuman yang masih saja menggunakan pemanis buatan dalam makanan yang mereka jual.
Artinya, persoalan pajak dan menjaga kesehatan masyarakat adalah perkara yang berbeda. Adapun membuat kebijakan menarik pajak pada makanan untuk menjaga kesehatan masyarakat bukanlah solusi. Malah, bisa dikatakan kebijakan ini hanyalah alibi semata. Padahal, sebenarnya ini adalah cara kaum kapitalis untuk memalak rakyat atas nama pajak demi kesehatan.
Sebab, sejatinya dalam sistem kapitalisme neoliberal yang saat ini dijalankan negeri ini, pajak merupakan keran utama pemasukan negara. Negara terus memikirkan bagaimana caranya agar semua lini kehidupan rakyat bisa dipalak. Ironisnya, rakyat yang menjadi korban. Padahal hidup rakyat sudah kembang kempis karena berbagai kesulitan.
Pun, pemalakan atas nama menjaga kesehatan rakyat dengan menarik pajak makanan atau minuman yang mengandung pemanis buatan berbahaya bukan kali pertama. Sebelumnya nasi bungkus, pempek, bea materai hingga cukai kresek pun tak luput jadi incaran pemalakan, sampai para emak yang belajar usaha online pun tak luput jadi sasaran. Miris!
Pemerintah beralasan, kas negara memang sudah tak sepadan dengan beban. Semua ikhtiar menambah pendapatan tak juga membawa keberhasilan. Yang seolah realistis dilakukan hari ini selain pajak adalah berutang dan terus berutang. Sampai-sampai, Indonesia nyaris tenggelam dalam kubangan utang yang mengancam kedaulatan.
Sungguh Ironis, negara yang dikenal serba kaya ini ternyata tak punya modal buat pembangunan. Apa lagi untuk memberi rakyatnya sedikit kesejahteraan dan kemudahan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ya, sepanjang negeri ini menerapkan sistem kapitalis neoliberal, negara memang dipastikan tak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan. Yang terjadi justru negara makin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Terlebih, penerapan sistem kapitalisme neoliberal justru membuka jalan penjajahan kapitalisme global.
Di sinilah urgensi untuk segera melakukan dekonstruksi terhadap paradigma bernegara. Dari yang berorientasi kapitalisme neoliberal, menjadi berparadigma Islam. Karena hanya Islam yang memberi visi benar terhadap konsep kenegaraan dan kekuasaan. Bahwa fungsi negara atau penguasa dalam Islam adalah fungsi pengurusan dan perlindungan.
Islam mengamanahkan rakyat kepada penguasa dan negara agar diurus dengan penuh tanggungjawab dan kasih sayang. Dan keduanya akan terwujud, manakala negara dan penguasa konsisten menerapkan hukum-hukum Islam kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang ekonomi dan pembangunan.
Sedangkan masalah pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Dia hanya dipungut saat kas negara kosong dan dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi tidak dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang. Dan manakala problem kekosongan kas negara tadi sudah teratasi, maka pajak pun harus dihentikan.
Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman. Bahkan pajak, akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan.
Beginilah indahnya aturan Islam tentang mengatur negara dan kekuasaan. Bagaimana hubungan antara keduanya dengan rakyat sebagai pemilik kewarganegaraan. Telah terbukti mampu menghantarkan umat ini pada taraf kehidupan yang gemilang. Bahkan telah menjadikan umat Islam sebagai mecusuar peradaban selama tiga belas abad lebih pernah menaungi dunia dengan keberkahan dan kemuliaan baik muslim maupun nonmuslim. Tidakkah kita merindukan hal itu kembali?
Wallahu a’lam bish showab.
[ry/LM]