Saat RUU Ketahanan Keluarga  Terbentur Nafsu

Oleh : Anita Rachman

(Pemerhati Sosial Politik)

 

LensaMediaNews – Ramai di lini media, pro-kontra RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi salah satu dari 50 RUU yang sudah sah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.  Pasalnya, RUU tersebut dianggap terlalu jauh mengurusi ranah privasi warga negaranya. 

Beberapa pasal yang mengundang kontroversi di antaranya tentang kewajiban suami-istri (pasal 25), tentang penyewaan rahim (surogasi) dan donor sperma/ovum (Pasal 31-32), serta pasal tentang penyimpangan seksual (pasal 86-89).

Pertama, pasal tentang kewajiban suami isteri. Mereka yang menolak, merasa negara tak perlu ikut campur urusan pribadi, dalam hal ini keluarga. Inilah paham demokrasi sekuler, sebuah paham yang mengusung asas kebebasan. Termasuk dalam bertindak dan menentukan segala hal sesuai dengan pendapat atau persepsi masing-masing dengan dalih hak asasi.

Buah dari ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan, karena menganggap agama hanya mengatur hubungan individu dengan Tuhannya, sehingga tak perlu ada campur tangan orang lain apalagi negara.

Padahal dalam Islam, negara adalah ri’ayah su’unil ummah, yaitu negara punya fungsi dan tanggungjawab dalam mengurusi urusan umat dalam segala hal, ibarat seorang kepala keluarga yang bertanggungjawab terhadap urusan seluruh anggota keluarganya. 

Sejatinya bukan negara ingin mencampuri urusan rumah tangga, tetapi negara hanya menjalankan apa yang Allah perintahkan, yaitu menegakkan hukum Allah yang memang menyentuh segala lini kehidupan.

Bagaimana peran masing-masing anggota keluarga baik orang tua (suami-isteri) maupun anak dalam menjalankan hak dan kewajibannya berjalan sesuai jalurnya, agar terwujud keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. 

Sementara itu bagi kaum feminis, jelas RUU ini akan menghambat gerak langkah mereka untuk bebas melakukan aktifitas dan mengambil sebanyak mungkin peran sebagaimana laki-laki.

RUU yang menguraikan bagaimana peran isteri di ranah domestik (rumah tangga), tentu mempersulit langkah mereka untuk terus menyuarakan kesetaraan gender, persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.

Bagaimana di dalam Islam? Laki-laki dan perempuan sama-sama diperlakukan mulia dan istimewa. Tidak ada yag lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain kecuali dari nilai ketakwaannya. Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan untuk beribadah dengan cara yang unik. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha mengenal” (QS Al-Hujurat:13)

Justru dengan Islam pulalah, kaum perempuan begitu dimuliakan. Harga dirinya dijaga dengan syariat-syariatnya. Aturan menutup aurat adalah cara Islam menjaga kehormatan perempuan. Tak sembarang orang yang boleh melihat tubuhnya kecuali mahram.

Mencari nafkah yang diwajibkan kepada kaum laki-laki adalah cara Islam memuliakan perempuan, sehingga tidak harus bersusah payah bekerja di luar rumah. Tanggungjawab kepemimpinan yang dibebankan kepada laki-laki adalah cara Islam melindungi perempuan dari segala macam gangguan.

Perempuan pun diberikan hak boleh bekerja dan terlibat dalam aktivitas sosial dengan syarat tidak melanggar hukum syara’, lagi-lagi demi menjaga kehormatannya. Allah menyediakan begitu banyak jalan bagi wanita untuk meraih surgaNya, sesuai dengan peran masing-masing, sebagai individu, isteri, ataupun ibu. Islam sudah sangat memuliakan perempuan tanpa harus para kaumnya melakukan gerakan menuntut kesetaraan.

Kedua, pasal tentang penyewaan rahim dan donor sperma/ovum akan dikenakan pidana. Bagi pengusung paham kapitalis sekuler yang segala sesuatu dihitung dari materi dan untung rugi, ini adalah ladang bisnis yang sangat menguntungkan.

Bahkan di luar negeri sudah ada bank sperma. Sementara itu bagi pelaku, ini adalah alternatif cara yang memudahkan untuk medapatkan keturunan sesuai keinginan, tanpa berpikir bagaimana dampaknya baik secara kesehatan (fisik), psikologis maupun moral (agama).

Karena memang paham sekuler adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Masalah kehamilan bukanlah masalah ibadah, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan aturan Tuhan, sehingga aturannya pun disesuaikan dengan nafsu dan kepentingan manusia.

Bagaimana aturannya dalam Islam? Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya menyatakan “jika inseminasi buatan melibatkan pihak kedua atau ketiga yang tidak ada hubungan perkawinan maka hukumnya sama dengan zina. Zina haram dalam Islam dan termasuk salah satu dosa besar. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” QS Al-Isra:32. 

Bagaimana kemudian dengan nazab (hubungan darah) anak tersebut, perwaliannya, perhitungan ahli warisnya, dan sebagainya, karena memang Islam begitu detail mengatur semua hal tersebut, tidak lain adalah untuk memudahkan manusia.

Ketiga, pasal tentang penyimpangan seksual, salah satunya adalah hubungan sesama jenis. RUU ini mengusulkan bahwa penyuka sesama jenis wajib dilaporkan untuk mendapatkan pengobatan (rehabilitasi). Bagi kaum sekuler, penyuka sesama jenis harus dilindungi karena ini menyangkut hak asasi.

Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya, termasuk dalam hal orientasi seksual. Mereka merasa punya otoritas penuh atas dirinya, termasuk dalam memperlakukan tubuhnya. Dalam Islam jelas, bahwa setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syara’. Kita bahkan tidak memiliki kuasa apapun atas diri kita. Bagaimana kita harus bertindak haruslah tunduk dan patuh pada siapa yang menciptakan tubuh kita, yaitu Allah Swt.

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda: “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhari no. 5885). Bagaimana Allah juga melaknat perbuatan kaum Luth yang melakukan penyimpangan berhubungan sesama jenis dengan mendatangkan azab, menenggelamkannya ke dalam bumi. 

Peristiwanya diabadikan di dalam Alquran sebagai peringatan agar kita dapat mengambil pelajaran “Maka tatkala datang azab Kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dan bertubi-tubi” (QS Huud:82)

Penerbitan UU dalam sistem demokrasi sekuler, yang membebaskan manusia membuat hukum, kemudian penangkapan pelaku dengan hukuman berupa penjara, denda atau rehabilitasi adalah solusi parsial yang selama ini terbukti tidak mampu benar-benar memecahkan permasalahan secara tuntas dan menyeluruh.

Karena sebenarnya, akar dari segala problematika yang terjadi hari ini, kerusakan demi kerusakan di segala lini, termasuk moral dan masalah ketahanan keluarga adalah karena ditinggalkannya Islam sebagai sistem utuh yang mengatur kehidupan.

Hari ini kita sedang dikuasai oleh sistem atau ideologi sekuler, di mana agama sengaja dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia di dunia. Agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melalui ibadah ritual masing-masing.

Sehingga untuk urusan dunia, untuk urusan hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia membuat aturan-aturannya sendiri. Di sinilah kemudian terjadi benturan kepentingan, perseteruan saling mempertahankan hawa nafsu, sehingga sampai kapanpun tidak akan pernah tercapai kata adil, apalagi mampu memecahkan masalah secara tuntas.

Tanpa RUU ini pun dan RUU-RUU lainnya buatan manusia, Islam sudah mengatur semua hal dalam kehidupan dengan sangat jelas dan terperinci. Mulai dari masalah ketahanan keluarga hingga politik dan kepemerintahan diatur lengkap dalam Islam.

Dari mulai akidah dan akhlak individu hingga tugas dan tanggungjawab negara, semua proporsional dan sempurna diatur dalam Islam.  Sehingga hanya dengan menerapkan kembali syariat Islam secara sempurnalah akan terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, tanpa ada lagi benturan kepentingan ataupun nafsu manusia yang tak pernah ada ujungnya. 

Wallahu’alam bishawab.

 

[ln/LM] 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis