Moderasi menuju Liberalisasi Agama

Oleh: Isnawati

 

LensaMediaNews – Agama memberikan pengaruh yang besar dalam berbagai sektor kehidupan. Upaya untuk menginterpretasikan atau menafsirkan secara pragmatis sebagai jalan moderasi terus dilakukan. Pemahaman agama secara radikal dianggap telah mengabaikan nilai-nilai inklusif yang egaliter dan demokratis.

Moderasi menjadi hal yang sangat penting sebagai penghubung unsur yang berbeda. Kolaborasi menuju titik temu meliputi seluruh aspek kehidupan. Politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, bahkan keyakinan yang merupakan hak seluruh umat.

Pemerintah membangun terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta Pusat. Terowongan itu diharapkan menjadi sarana untuk silaturahmi. Namun, beragam tanggapan dari sejumlah tokoh bermunculan. Ada yang mendukung ada pula yang meminta untuk mengkaji ulang ide pembangunan terowongan tersebut.

Abdul Mu’ti Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, “Masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial bukan dalam bentuk Infrastruktur fisik berupa terowongan. Membangun toleransi otentik, toleransi hakiki bukan toleransi basa-basi, itu yang dibutuhkan”.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Goma Gultom juga angkat bicara, “Simbol-simbol yang dibangun itu tidak mengatasi beragam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Kita membutuhkan kerukunan yang eksistensial, bukan yang formalistik dan simbol-simbol saja” (Tempo.com, 12/2/2020).

Tidaklah berlebihan alasan yang disampaikan para tokoh tersebut. Entahlah toleransi yang seperti apa sehingga menjadikan pembangunan terowongan sebagai jalan untuk menggapai kerukunan antar umat beragama.

Jika terowongan dibangun hanya untuk akses penyeberangan jamaah tentu pembangunan jembatan lebih efektif dan murah. Apabila pembangunan terowongan dibangun sebagai simbol toleransi beragama sangatlah tidak tepat, apalah artinya wujud fisik dan simbol. Ketika toleransi bermuatan politik, menuju liberalisasi agama, sampai kapanpun tidak akan terwujud suasana kebersamaan.

Kebersamaan melalui pluralisme dengan menjadikannya sebagai wadah pengakuan kebenaran semua agama sangat melukai hati umat. Dan yang lebih parah lagi mencampuradukkan yang haq dan batil, hal ini sangat berbahaya. Mengaburkan dan menyesatkan akidah umat merupakan perspektif pluralisme. Islam tidak lagi menjadi yang paling benar. Standar kebenaran bukan dengan wahyu, namun menurut hawa nafsu menuju liberalisasi agama.

Keberagaman menempatkan Indonesia sebagai negara besar dan kaya. Mempertahankan persatuan dan kesatuan merupakan pondasi dalam bernegara. Konsekuensi umat beragama untuk saling menghormati bukan berarti agamamu agamaku dan agamaku juga agamamu, sehingga harus disatukan dalam satu terowongan.

Keanekaragaman adalah suatu keniscayaan. Batasan keragaman hanya sebatas pengakuan keberadaan dan hak agama lain. Memahami perbedaan untuk ditempatkan pada tempatnya adalah hal yang jauh lebih penting.

Konsep kebebasan beragama, tanggung jawab, saling menjaga hak masing-masing sudah dicontohkan Rasulullah melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah konstitusi pertama perjalanan manusia, kesepakatan damai mengatur kemajemukan komunitas. Mulai dari masalah politik, ekonomi, hukum, sosial, perdamaian, kesetaraan tercantum dalam draf perjanjian.

Persatuan umat antara kaum muslimin dan kaum Yahudi pada saat itu menjadi tanggung jawab bersama. Menciptakan bangsa yang berdaulat terwujud bersama umat yang kuat, kompak, dan taat pada negara. Perlakuan yang sama tanpa diskriminatif merupakan cara Rasulullah dalam memimpin.

Dalam waktu singkat Madinah berubah menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan. Hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat dan resmi. Memandang keanekaragaman dalam beragama adalah suatu keniscayaan yang harus dilindungi bukan disatukan seperti saat ini.

Pembangunan terowongan adalah bentuk campur tangan urusan internal umat beragama. Negara seharusnya meletakkan agama sebagai sumber nilai, menjamin kemaslahatan umat. Keberagaman dan perbedaan memang harus dirawat dalam ketaatan kepada syari’at Islam.

Keyakinan tidak bisa disamakan apalagi disatukan. Perawatan perbedaan hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara Kaffah dengan landasan iman dan takwa.

Dan katakanlah: yang haq (benar) telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS. Al-Isra’: 81)

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis